Minggu, 10 September 2017

Laporan praktek kerja lapangan (pkl) di disparbud kab. malang dengan judul PENGEMBANGAN BRANDING WISATA BOWELE SEBAGAI DESTINASI EKOWISATA KABUPATEN MALANG




BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
            Pembangunan pariwisata mempunyai peranan penting karena disamping sebagai penggerak perekonomian juga diharapkan meningkatkan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat selain itu pariwisata juga merupakan salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan masyarakat akan kepuasan terhadap hal-hal yang bersifat batiniah. Dalam rangka memanfaatkan peluang pariwisata yang secara prospektif dapat menguntungkan, maka diperlukan juga iklim usaha yang kondusif agar dapat menjamin berlangsungnya kegiatan pariwisata, serta membuka peluang investasi guna meningkatkan aktifitas pariwisata.
Selanjutnya melalui pengelolaan berbagai potensi secara optimal diharapkan akan dapat menarik dunia usaha untuk melakukan kegiatan penanaman modal di Kabupaten Malang dapat dipastikan bahwa aktivitas ekonomi akan meningkat dan pada gilirannya akan mengangkat kesejahteraan masyarakat dampaknya akan berpengaruh sekali terhadap peningkatan pendapatan asli daerah.
Kabupaten Malang yang kondisi geografisnya terdiri dari wilayah pegunungan dan dataran lembah serta perairan pantai membentuk bentangan-bentangan alam yang indah dengan patahan-patahan geologi yang menciptakan adanya air terjun hamparan pantai yang luas dan berpasir putih, hal ini memungkinkan sekali dipacunya pertumbuhan dan pengembangan wilayah Kabupaten Malang berbasis pada pariwisata dengan ditunjang oleh sumber daya alam dan sektor-sektor ekonomi unggulan seperti pertanian peternakan perikanan industri pertambangan dan pariwisata itu sendiri. Pengembangan pariwisata dapat ditempuh melalui pengadaan paket wisata, pengembangan jalur wisata, pengadaan sarana dan prasarana penunjang pariwisata seperti hotel dan penginapan serta peningkatan aksesbilitas dengan meningkatkan kondisi jalan dan penyediaan sarana transportasi menuju obyek wisata.
Sejarah terbentuknya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang, Pada tahun 1989 sampai dengan 1996 waktu itu masih berstatus Cabang Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur di Malang yang berkantor di Jalan Kawi 41 Malang menjadi satu dengan komplek Gedung APDN Malang, Kepala Cabang Dinas Pariwisata saat itu dipimpin oleh Bapak SUNARDI (almarhum).
Pada tahun 1996 sampai dengan 2004 terjadi perubahan dari Cabang Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur di Malang menjadi Dinas Pariwisata Daerah Kabupaten Malang dengan alamat kantor Jalan Gede No. 6 Malang yang dipimpin oleh Kepala Dinas :
1.       SUNARDI  pada tahun 1996 sampai dengan  1999
2.      Dra. HARSIARI  pada tahun 1999 sampai dengan  2001
3.      Drs. NURYANTO, MM pada tahun 2001 sampai dengan  2004

Pada tahun 2004 sampai 2008 terjadi perubahan lagi sesuai dengan Peraturan Bupati Malang dengan Nomor: 90 Tahun 2004 dari  Dinas Pariwisata Daerah Kabupaten Malang menjadi Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Malang dengan alamat kantor Jalan KH. Agus Salim No. 7 Malang yang dipimpin oleh seorang Kepala Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Malang yaitu Bapak Purnadi, SH. MSi.
Sedangkan pada tahun 2008 sampai 2013 terjadi perubahan lagi sesuai dengan Peraturan Bupati Malang Nomor: 11 Tahun 2008 dari Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Malang menjadi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang yang berkantor di Jalan Raya Singosari No. 275 Singosari Malang dan dipimpin oleh Kepala Dinas:
1.      Bapak PURNADI, SH. MSi. pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2010
2.      Ibu RATNA NURHAYATI, MSi. pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2013
Setelah  Ibu RATNA NURHAYATI, MSi. Menjabat sebagai Kepala Dinas pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 digantikan oleh Bapak Made Arya Wedanthara, SH, M.Si yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga.

1.2 Visi dan Misi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang
Ø  Visi
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sebagai unsur pelaksana otonomi daerah di bidang Kebudayaan dan Pariwisata dan salah satu pelaku pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata daerah merumuskan Visi sebagai berikut :
 “ TERWUJUDNYA KEPARIWISATAAN KABUPATEN MALANG YANG BERBASIS MASYARAKAT “
Ø  Misi
Selanjutnya untuk mewujudkan Visi tersebut guna memberikan arah dan tujuan ingin dicapai, maka ditetapkan Misi sebagai berikut :
a. Membangun jati diri dan citra kepariwisataan Kabupaten Malang yang berbasis masyarakat;
      b. Mendorong perkembangan kepariwisataan Kabupaten Malang yang berkualitas dan memiliki daya saing melalui :
1.  Pengembangan obyek dan daya tarik wisata yang berdasarkan kearifan lokal;
2.  Membangun sarana dan prasarana dalam keselarasan dan keharmonisan lingkungan;
3.  Mewujudkan kualitas pelayanan yang baik pada masyarakat;
4.  Mengoptimalkan sarana informasi dan menyelenggarakan promosi yang lebih
berkualitas;
       c. Meningkatkan peran serta masyarakat
1.3 Struktur Organisasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten malang
            Struktur organisasi adalah suatu susunan antara tiap bagian serta posisi yang ada pada organisasi atau perusahaan dalam menjalankan kegiatan oprasional untuk mencapai tujuan yang diharapkan dan diinginkan. Struktur organisasi menggambarkan dengan jelas pemisahan kegiatan pekerjaan antara yang satu dengan yang lain dan bagaimana hubungan aktifis dan fungsi dibatasi.
1.1 Gambar struktur organisasi dinas pariwisata dan kebudayaan kabupaten Malang.
Berdasarkan peraturan Bupati Malang Nomor : 11 tahun 2008 tentang Organisasi perangkat Daerah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan terdiri dari susunan organisasi dan tugas pokok fungsinya sebagai berikut :
1.2.1 Organisasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten malang
    ( 1 ) Susunan orgnaisasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan terdiri dari :
             a. Kepala Dinas
             b. Sekretaris
             c. Bidang Kebudayaan
             d. Bidang Usaha Jasa dan Sarana Wisata
             e. Bidang Pemasaran
             f. Bidang Obyek Wisata
             g. UPTD
              h. Kelompok Jabatan Fungsional.
        (2) Sekretariat Bidang dan UPTD sebagaimana dimaksud pada ayat 1 masing-masing dipimpin oleh seorang Sekretaris, Kepala Bidang dan Kepala UPTD yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas.
       (3)  Kelompok Jabatan Fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, masing-masing dipimpin oleh seorang Tenaga Fungsional senior yang ditunjuk oleh Kepala Dinas, yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Dinas atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Dinas sesuai dengan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1.2.2 Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang
Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya Dinas pariwisata dan Kebudayaan merupakan unsur pelaksana  otonomi Daerah di bidang Pariwisata dan Kebudayaan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah .
          1. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mempunyai tugas :
a. melaksanakan urusan pemerintahan bidang kebudayaan dan pariwisata berdasarkan azazotonomi dan tugas pembantu;
b. melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan bidang tugasnya.
2. Untuk melaksanakan tugas sebagaiman di atas dinas pariwisata dan kebudayaan mempunyai tugas :
  a. Pengumpulan pengelolaan dan pengendalian data yang dibentuk data base serta   analisis data untuk penyusunan program kegiatan
 b. Perencanaan strategis pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
 c. Perumusan kebijakan teknis bidang Pariwisata dan Kebudayaan
               d. Penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan umum bidang Pariwisata dan Kebudayaan
            e. Pembinaan dan pelaksanaan tugas bidang Pariwisata dan Kebudayaan
f. Pelaksanaan, pengawasan, pengendalian serta evaluasi dan pelaporan penyeleng- garaan bidang Pariwisata dan Kebudayaan
g. Pelaksanaan standar pelayanan minimal yang wajib dilaksnakan di bidang Pariwisata dan Kebudayaan
h. Penyelenggaraan kesekretariatan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
i. Pembinaan UPTD
j. Pengkoordinasian, integrasi dan sinkronisasi kegiatan di lingkungan Dinas         
k. Pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan bidang seni budaya dan pariwisata
l. Pembinaan kepada masyarakat tentang Pariwisata dan Kebudayaan
           m. Pelaksanaan kerjasama dengan lembaga pemerintah dan lembaga lainnya
n. Peningkatan pengembangan apresiasi seni budaya
o. Pembinaan pengembangan obyek wisata, pentas seni budaya, rekreasi dan aneka hiburan. 
1.2.3 Kepala Dinas mempunyai tugas :
    a. memimpin Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dalam perumusan, perencanaan, kebijakan, pelaksanaan teknis pembangunan dan pemeliharaan fasilitas Pariwisata dan Kebudayaan serta menyelenggarakan perijinan, pembinaan, koordinasi, pengawasan dan pengendalian teknis operasional di bidang pariwisata dan kebudayaan
    b. melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan bidang tugasnya.
4. Dalam menjalankan fungsinya Sekretaris mempunyai tugas :
      a. melaksanakan koordinasi perencanaan, evaluasi dan pelaporan program Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, pengelola urusan kepagawaian, urusan umum yang meliputi kegiatan surat menyurat, penggandaan, perlengkapan rumah tangga, hubungan masyarakat, urusan keuangan
      b. melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai dengan bidang tugasnya. Untuk melaksanakan tugasnya Sekretaris mempunyai fungsi
      a. perencanaan kegiatan kesekretariatan
      b. pengelola urusan administrasi kepegawaian, kesejahteraan dan pendidikan pelatihan pegawai
      c. pengelolaan urusan rumah tangga, keprotokolan dan hubungan masyarakat
      d. penyelenggara pengelola administrasi keuangan dan kekayaan daerah;
      e. penyelenggaraan kegiatan surat-menyurat, pengetikan, penggadaan, kearsipan;
      f. pengelolaan administrasi perlengkapan dan mengurus pemeliharaan, kebersihan dan penyusunan rencana pembangunan, evaluasi dan pelaporan
     g. pengkoordinasian Sekretariat terdiri dari  :
            a). Sub Bagian Umum danm Kepegawaian
            b). Sub Bagian Keuangan
            c).Sub Bagian Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan
Dan masing-masing Sub Bagian sebagaimana dimaksud dipimpin oleh Kepala Sub Bagian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada sekretaris.
Ø  Sub Bagian Umum dan Kepegawaian mempunyai tugas :
a. menyusun rencana kegiatan Sub Bagian Umum dan Kepegawaian;
b. menyelenggarakan, melaksanakan dan mengelola administrasi  kepegawaian, kesejahteraan pegawai dan pendidikan pelatihan pegawai;
c. melaksanakan pembinaan organisasi dan ketetalaksanaan, surat menyurat, kearsipan, rumah tangga, perjalanan dinas, keprotokolan, penyusunan rencana kebutuhan barang, peralatan, pendistribusian
d. melaksanakan tata usaha barang, perawatan/penyimpan peralatan kantor dan pendataan inventaris kantor
e. menyelenggarakan administrasi perkantoran
f. mlelaksanakan kebersihan dan keamanan kantor
g. menghimpun, mengelola data, menyusun program kerja Sub Bagian Umum dan Kepegawaian
h. melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Sekretarissesuai dengan bidang tugasnya.
Ø  Sub Bagian Keuangan mempunyai tugas :
a. menyusun rencana kegiatan Sub Bagian Keuangan
b. melaksanakan administrasi keuangan yang meliputi pembukuan, pertanggungjawaban dan verufikasi serta penyusunan anggaran
c. menyelenggarakan penyusunan laporan dan pertanggungjawaban penyelenggaraan anggaran satuan kerja
d. menyiapkan bahan penyusunan rencana strategis Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
e. menghimpun, mengelola data, menyusun program kerja Sub Bagian Keuangan
f. melaksanakan pengurusan biaya perpindahan pegawai dan ganti rugi gaji pegawai serta pembayaran hak-hak keuangan lainnya
g. melaksanakan evaluasi keuangan terhadap hasil pelaksananan program dan rencana strategis
    Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
i. melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Sekretaris sesuai dengan bidang tugasnya.
Ø  Sub Bagian Perencananan, Evaluasi dan Pelaporan mempunyai tugas:
a. menyusun rencana kegiatan Sub Bagian Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan
b. menyiapkan penyiapan bahan dan melaksanakan koordinasi dalam penyusunan rencana strategis pembangunan kebudayaan dan pariwisata tibgkat daerah
c. menyiapkan rumusan kebijakan program kerja dan rencana kerja kegiatan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
d. menyiapkan dan menyusun bahan pengembangan kerja sama lintas sektoral
e. menyelenggarakan sistem informasi manajemen dan pelaporan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG
NOMOR 10 TAHUN 2013
TENTANG
PENYELENGGARAAN KEPARIWISATAAN
DENCAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI MALANG,
Menimbang     : a. bahwa dalam rangka mendukung Kabupaten Malang sebagai daerah pariwisata berbasis agro dan ekowisata yang dilandasi oleh norma agama, adat dan nilai budaya sebagai pedoman kehidupan bermasyarakat, perlu dilestarikan, ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu, berkelanjutan dan bertanggung jawab
b. bahwa pengaturan penyelenggaraan kepariwisataan dalam rangka mendukung perkembangan pariwisata di Kabupaten Malang sehingga dapat mengangkat dan melindungi norma agama, adat dan nilai budaya, kelestarian alam dan karakteristik daerah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan;
Mengingat.   1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten di Lingkungan Propinsi Jawa Timur (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 41), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1965 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotapraja Surabaya dan Daerah Tingkat II Surabaya dengan mengubah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950, tentang Pembentukan Daerah-daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yoorakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2730)
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nornor 3419);
5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821);
6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
8. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
9. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
10. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
11. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
12. Undang-Undang Nomor ll Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168);
13. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
14.  Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5145);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3658);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5116);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5262);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5311);
21. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah;
22. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 694);
23. Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 10 Tahun 2007 tentang Kewenangan Pemerintahan Kabupaten Malang Dalam Urusan Pemerintahan Wajib dan Pilihan (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2007 Nornor 2/ E);
24. Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2008 Nomor 1/ D), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2012 Nomor 1/D).
25. Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 3 Tahun 2010 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Malang (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2010 Nornor 2/E);
26. Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2011 Nomor 6/ E);


Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MALANG dan
BUPATI MALANG
MEMUTUSKAN•.
Menetapkan . PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN REPARIWISATAAN.
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Pasai 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Malang.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Malange
3. Bupati adalah Bupati Malang. 23-6-2013."
4. Dewan Perwakilan Ralorat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Malang.
5. Dinas adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang.
6. Orang adalah orang perseorangan yang melakukan kegiatan kepariwisataan.
7. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan Iainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalarn bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi Iainnya, lembaga dan bentuk badan Iainnya.
8. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
9. Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata.
10. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha dan/atau Pemerintah Daerah.
11. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah Daerah dan pengusaha.
12. Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
13. Daerah Tujuan Pariwisata yang selanjutnya disebut Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau Iebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan.
14. Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata.
15. Produk Pariwisata adalah berbagai jenis komponen daya tarik wisata, fasilitas pariwisata dan aksesibilitas yang disediakan bagi dan/atau dijual kepada wisatawan yang saling mendukung secara sinergi dalam suatu kesatuan sistem untuk terwujudnya pariwisata.
16. Pengusaha Pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata.
17. Industri Pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.
18. Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau Iebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup serta pertahanan dan keamanan.
19. Agrowisata adalah wisata pertanian dengan Obyek kunjungan daerah pertanian atau perkebunan yang sifatnya khusus, yang telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga berbagai aspek yang terkait dengan jenis tumbuhan yang dibudidayakan menimbulkan motivasi dan daya tarik wisatawan.
20. Ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggungjawab dengan memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usahausaha konservasi sumberdaya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal.
21. Desa Wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam satu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tatacara dan tradisi yang berlaku.
22. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh pekerja pariwisata untuk mengembangkan profesionalitas kerja.
23. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha dan pekerja pariwisata untuk mendukung peningkatan mutu produk pariwisata, pelayanan dan pengelolaan kepariwisataan.
24. Tanda Daftar Usaha Pariwisata adalah Surat Tanda Pendaftaran yang dikeluarkan Pemerintah Daerah untuk dapat menyelenggarakan usaha pariwisata daerah.
25. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengelola data dan/atau keterangan Iainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban di bidang pariwisata.
26. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan daerah.
BAB III
ASAS, FUNGSI DAN TUJUAN
Bagian Resatu Asas
Pasal 2
Kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan asas:
a. manfaat;
b. kekeluargaan;
c. adil dan merata;
d. keseimbangan;
e. kemandirian;
f. kelestarian;
g. partisipatif;
h. berkelanjutan;
i. demokratis;
j. kesetaraan;
k. kesatuan;
l. menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya; dan
m. profesionalisme.
Bagian Kedua
Fungsi
Pasal 3
Kepariwisataan di daerah berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Bagian Ketiga Tujuan
Pasal 4
Penyelenggaraan kepariwisataan bertujuan untuk:
a. menumbuhkan sikap saling pengertian dan saling menghargai antar sesama manusia, memupuk rasa cinta serta kebanggaan terhadap daerah, tanah air dan bangsa;
b. melestarikan lingkungan dan sumber daya alam;
 c. melestarikan kebudayaan daerah sebagai bagian kebudayaan nasional untuk memperkokoh jati diri dan mempertahankan serta memelihara keasliannya;
d. mendorong pengembangan sumber daya pada destinasi pariwisata;
e. memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja serta meningkatkan peran serta masyarakat; dan
f. meningkatkan pendapatan masyarakat dan Pemerintah Daerah.
BAB III
PENYELENGGARA DAN SUMBER DAYA PARIWISATA
Bagian Kesatu
Penyelenggara Pariwisata
Pasal 5
Penyelenggara pariwisata di daerah meliputi:
a. Pemerintah Daerah;
b. Badan atau Perorangan yang terkait langsung atau tidak langsung dengan industri pariwisata; dan
c. Lembaga pariwisata dan masyarakat.
Bagian Kedua Sumber Daya Pariwisata
Pasal 6
Sumber daya pariwisata di daerah terdiri atas:
a. sumber daya alam;
b. sumber daya manusia; dan
c. sumber daya hasil karya manusia.
Pasal 7
Pemanfaatan sumber daya pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan dengan memperhatikan prinsip:
a. menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya, adat istiadat serta nilai-nilai yang tumbuh, hidup dan berkembang di dalam masyarakat;
b. menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya dan kearifan lokal;
c. memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup;
d. memberdayakan masyarakat setempat;
e. meningkatkan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya; dan
f. keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramahtamahan dan kenangan.
BAB IV
PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN
Pasai 8
Pembangunan kepariwisataan dilakukan secara terpadu melalui pendekatan kewilayahan dengan mempertimbangkan aspek, sebagai berikut:
a. kesatuan geografis;
b. kesatuan aksesibilitas;
c. sumber daya pariwisata; dan
d. produk wisata dan sasaran pasar.
Pasal 9
Pembangunan kepariwisataan meliputi:
a. industri pariwisata;
b. destinasi pariwisata;
c. pemasaran; dan
d. kelembagaan kepariwisataan.
Pasai 10
(1) Perencanaan dan pengembangan terhadap pelaksanaan pembangunan kepariwisataan dilakukan secara terpadu dengan sektor lain.
(2)    Perencanaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perencanaan pembangunan industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran dan kelembagaan kepariwisataan.
Pasai 11
Pemerintah Daerah mendorong penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing di bidang kepariwisataan sesuai dengan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah.
BAB V
PRINSIP PENYELENGGAR.A.AN REPARIWISATAAN
Pasai 12
Penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. menjunjung tinggi norma agama, adat dan nilai budaya daerah;
b. menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya dan kearifan lokal;
c. memberi manfaat untuk kesejahteraan masyarakat, keahlian, kesetaraan dan proporsionalitas;
d. memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup;
e. memberdayakan masyarakat setempat;
f. menjamin keterpaduan antar sektor, antar daerah, antar pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah serta keterpaduan antar pemangku kepentingan; dan
g. mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata.
BAB VI
KAWASAN STRATEGIS, EKOWISATA, AGROWISATA
DAN DESA WISATA
Bagian Kesatu
Kawasan Strategis
Pasal 13
(1) Penetapan kawasan strategis pariwisata ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan aspek:
a. sumber daya pariwisata alam dan budaya yang potensial menjadi daya tarik pariwisata;
b. potensi pasar;
c. lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan bangsa dan keutuhan wilayah;
d. perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup;
e. lokasi strategis yang mempunyai peran dalam usaha pelestarian dan pemanfaatan aset budaya;
f. kesiapan dan dukungan masyarakat; dan
g. keunikan wilayah.
(2) Kawasan strategis pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan untuk berpartisipasi dalam rangka terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.
(3) Kawasan strategis pariwisata harus memperhatikan aspek budaya, sosial dan agama masyarakat setempat.
(4) Kawasan strategis pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) merupakan bagian integral dari Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah.

Bagian Kedua Ekowisata
Pasal 14
(1) Jenis-jenis ekowisata meliputi:
a. ekowisata bahari;
b. ekowisata hutan;
c. ekowisata pegunungan; dan/atau
d. ekowisata karst.
(2) Penetapan dan pengembangan kawasan ekowisata oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan prinsip:
a. kesesuaian antara jenis dan karakteristik ekowisata;
b. konservasi yaitu melindungi, mengawetkan, memanfaatkan secara lestari sumber daya alam yang digunakan untuk ekowisata;
c. ekonomis yaitu memberikan manfaat untuk masyarakat setempat dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan;
d. edukasi yaitu mengandung unsur pendidikan untuk mengubah persepsi seseorang agar memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya;
e. memberikan kepuasan dan pengalaman kepada pengunjung;
f. partisipasi masyarakat yaitu peran serta masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengendalian ekowisata dengan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan keagamaan masyarakat di sekitar kawasan; dan
g. menampung kearifan lokal.
(3) Penetapan dan pengembangan kawasan ekowisata oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui:
a. Perencanaan;
b. pemanfaatan; dan
c. pengendalian.
Bagian Ketiga
Agrowisata
Pasal 15
(1) Penetapan dan pengembangan kawasan Agrowisata oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan aspek:
a. perencanaan, pengelolaan, pemeliharaan, pengamanan dan penggalian potensi kawasan agrowisata;
b. mengintegrasikan rencana pengembangan agrowisata dengan memperhatikan kebijakan nasional;
c. memberikan manfaat secara berkelanjutan untuk daerah dan masyarakat setempat;
d. mengandung unsur pengetahuan untuk masyarakat agar memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan agrowisata;
e. peran serta masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengendalian agrowisata dengan menghormati nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat.
(2) Penetapan dan pengembangan kawasan Agrowisata oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. Perencanaan;
b. pemanfaatan; dan
c. pengendalian.

Bagian Keempat
Desa Wisata
Pasal 16
(1) Penetapan dan pengembangan kawasan Desa Wisata oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan aspek:
a. jenis dan karakteristik Desa Wisata;
b. memberikan manfaat secara berkelanjutan untuk daerah dan masyarakat setempat;
c. mengandung unsur pendidikan untuk mengubah persepsi seseorang agar memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya;
d. peran serta masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengendalian Desa Wisata dengan menghormati nilai-nilai sosial budaya masyarakat.
(2) Penetapan dan pengembangan kawasan Desa Wisata oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. perencanaan;
b. pemanfaatan; dan
c. pengendalian.
BAB VII
USAHA PARIWISATA
Pasal 17
(1) Bidang usaha pariwisata meliputi antara Iain:
a. daya tarik wisata;
b. kawasan pariwisata;
c. jasa transportasi wisata;
d. jasa perjalanan wisata;
e. jasa makanan dan minuman;
f. penyediaan akomodasi;
g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;
h. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi dan pameran;
i. jasa informasi pariwisata;
j. jasa konsultan pariwisata;
k. jasa pramuwisata;
l. wisata tirta;
m. usaha spa.
(2) Pemerintah Daerah dapat menetapkan jenis usaha pariwisata yang baru selain yang dimaksud pada ayat (1) sebagai akibat perkembangan teknologi, ekonomi, sosial
Pasal 18
Untuk dapat menyelenggarakan usaha pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, pengusaha pariwisata wajib mendaftarkan usahanya kepada Pejabat yang berwenang.
Pasal 19
Pemerintah Daerah wajib mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi dalam bidang usaha pariwisata dengan cara:
a. menetapkan kebijakan pencadangan usaha pariwisata untuk usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi; dan
b. memfasilitasi kemitraan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi dengan usaha skala besar.
BAB VIII
HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN
Bagian Kesatu Hak
Pasal 20
Pemerintah Daerah mengatur dan mengelola urusan kepariwisataan sesuai dengan kewenangannya dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 21
(1) Setiap orang berhak:
a. memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata;
b. melakukan usaha pariwisata;
c. menjadi pekerja/pelaku pariwisata; dan
d. berperan dalam proses pembangunan kepariwisataan.
(2) Setiap orang dan/atau masyarakat di dalam dan di sekitar destinasi pariwisata mempunyai hak prioritas:
a. menjadi pekerja/ pelaku pariwisata;
b. konsinyasi; dan
c. pengelolaan.
Pasal 22
Setiap wisatawan berhak memperoleh:
a. informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata;
b. pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar;
c. perlindungan hukum dan keamanan;
d. pelayanan kesehatan;
e. perlindungan hak pribadi; dan
f. perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi.
Pasal 23
Wisatawan yang memiliki keterbatasan fisik, anak-anak dan lanjut usia berhak mendapatkan fasilitas khusus sesuai dengan kebutuhannya.
Pasal 24
Setiap pengusaha pariwisata berhak:
a. mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha di bidang kepariwisataan;
b. membentuk dan menjadi anggota asosiasi kepariwisataan;
c. mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha; dan
d. mendapatkan fasilitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua Kewajiban
Pasal 25
Pemerintah Daerah berkewajiban:
a. menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, keamanan dan keselamatan kepada wisatawan;
b. menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata yang meliputi terbukanya kesempatan yang sama dalam berusaha, memfasilitasi dan memberikan kepastian hukum;
c. melestarikan tradisi dan kekayaan budaya daerah sebagai aset pariwisata;
d. memelihara, mengembangkan dan melestarikan aset nasional yang menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali;
e. memberdayakan masyarakat setempat beserta lingkungan alam dan budaya lokal;
f. mendorong kemitraan usaha pariwisata;
g. mempromosikan industri kerajinan khas daerah;
h. mempromosikan potensi daya tarik wisata daerah; dan
i. mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.
Pasal 26
Setiap orang berkewajiban:
a. menjaga dan melestarikan objek dan daya tarik wisata;
b. membantu terciptanya suasana aman, tertib, bersih, berperilaku şantun dan menjaga kelestarian lingkungan destinasi pariwisata; dan
c. membangun citra positif destinasi pariwisata di daerah.
Pasal 27
Setiap wisatawan berkewajiban:
a. menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;
b. memelihara dan melestarikan lingkungan;
c. turut serta menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan;
d. turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum; dan
e. turut serta membangun citra positif destinasi pariwisata di daerah.
Pasal 28
Setiap pengusaha pariwisata berkewajiban:
a.    menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;
b. memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab;
c. memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif;
d. memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan dan keselamatan wisatawan;
e. memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi;
f. mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil dan koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat dan menguntungkan;
g. mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam negeri dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal;
h. meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pendidikan dan pelatihan;
i. berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program pemberdayaan masyarakat;
j. turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya;
k. memelihara lingkungan yang sehat, bersih dan asri;
l. memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya;
m. menjaga Citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha kepariwisataan secara bertanggung jawab; dan
n. menerapkan standar usaha dan standar kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga Larangan
Pasal 29
(1) Setiap orang dilarang merusak sebagian atau seluruh fisik objek dan daya tarik wisata.
(2) Merusak fisik objek dan daya tarik wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah melakukan perbuatan mengubah warna, mengubah bentuk, menghilangkan spesies tertentu, mencemarkan lingkungan, memindahkan, mengambil, menghancurkan, atau memusnahkan objek dan daya tarik wisata sehingga berakibat berkurang atau hilangnya keunikan, keindahan dan nilai autentik suatu daya tarik wisata yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Pasal 30
Setiap pengusaha usaha pariwisata dilarang:
a. memanfaatkan tempat kegiatan untuk melakukan perjudian, perbuatan asusila, peredaran dan pemakaian narkoba serta tindakan pelanggaran hukum Iainnya;
b. memperkerjakan tenaga kerja di bawah umur; dan
c. mempekerjakan tenaga kerja asing tanpa izin.
Pasal 31
Jenis usaha pariwisata yang menyelenggarakan karaoke, pub, diskotik, klab malam, panti pijat, mandi uap dan tempattempat usaha Iain yang sejenis dilarang apabila bertentangan dengan norma agama, adat dan nilai budaya.
BAB IX
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 32
(1) Pemerintah Daerah berwenang:
a. menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan;
b. mengkoordinasikan penyelenggaraan kepariwisataan di Daerah;
c. melaksanakan pendaftaran, pencatatan dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata;
d. menetapkan destinasi pariwisata;
e. menetapkan daya tarik wisata;
f. memfasilitasi promosi destinasi pariwisata dan produk pariwisata;
g. memelihara aset daerah yang menjadi daya tarik wisata;
h. menyelenggarakan bimbingan masyarakat sadar wisata;
i. mengalokasikan anggaran kepariwisataan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
j. mensosialisasikan produk-produk hukum daerah di bidang kepariwisataan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf h diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 33
(1) Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat untuk kepentingan pengembangan kepariwisataan.
 (2) Pemerintah Daerah dapat mengembangkan dan mengelola sistem informasi kepariwisataan sesuai dengan kemampuan dan kondisi daerah.
BAB X
BADAN PROMOSI PARIWISATA DAERAH
Pasai 34
(1) Pemerintah Daerah dapat memfasilitasi pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah,
(2) Badan Promosi Pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri.
(3) Badan Promosi Pariwisata Daerah dalam melaksanakan kegiatannya wajib berkoordinasi dengan Badan Promosi Pariwisata Provinsi dan Pusat.
(4) Pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Pasai 35
Struktur organisasi Badan Promosi Pariwisata Daerah terdiri atas 2 (dua) unsur, yaitu:
a. unsur penentu kebijakan; dan
b. unsur pelaksana.
Pasai 36
(1) Unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a berjumlah 9 (sembilan) orang anggota terdiri atas:
a. wakil asosiasi kepariwisataan 4 (empat) orang;
b. wakil asosiasi profesi 2 (dua) orang;
c. wakil asosiasi penerbangan 1 (satu) orang; dan
d. pakar/akademisi 2 (dua) orang.
(2) Keanggotaan unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata Daerah ditetapkan dengan Keputusan Bupati untuk masa tugas selama 4 (empat) tahun.
(3) Unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata Daerah dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua yang dibantu oleh seorang sekretaris yang dipilih dari dan oleh anggota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, persyaratan serta tata cara pengangkatan dan pemberhentian unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (l), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasai 37
Unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 membentuk unsur pelaksana untuk menjalankan tugas operasional.
Pasai 38
(1) Unsur pelaksana Badan Promosi Pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b dipimpin oleh seorang direktur eksekutif dengan dibantu oleh beberapa direktur sesuai dengan kebutuhan.
(2) Unsur pelaksana Badan Promosi Pariwisata Daerah wajib menyusun tata kerja dan rencana kerja.
(3) Masa kerja unsur pelaksana Badan Promosi Pariwisata Daerah paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa kerja berikutnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, persyaratan serta tata cara pengangkatan dan pemberhentian unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Badan Promosi Pariwisata Daerah.
Pasai 39
(1) Badan Promosi Pariwisata Daerah mempunyai tugas:
a. meningkatkan citra kepariwisataan daerah;
b. meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan penerimaan devisa;
c. meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara dan pembelanjaan;
d. menggalang pendanaan dari sumber selain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. melakukan riset dalam rangka pengembangan usaha dan bisnis pariwisata.
(2) Badan Promosi Pariwisata Daerah mempunyai fungsi sebagai:
a. koordinator promosi pariwisata yang dilakukan dunia usaha di pusat dan daerah;
b. mitra kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pasai 40
(1) Sumber pembiayaan Badan Promosi Pariwisata Daerah berasal dari:
a. pemangku kepentingan; dan
b. sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Bantuan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersifat hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengelolaan dana yang bersumber dari non-Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan non-Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah wajib diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan kepada masyarakat.
BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA,
STANDARISASI, SERTIFIKASI DAN TENAGA KERJA
Bagian Kesatu Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pasai 41
(1) Pengembangan sumber daya manusia di bidang kepariwisataan bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia yang memiliki kompetensi profesionalisme, berdaya saing dan berbudi luhur.
(2) Pengembangan sumber daya manusia di bidang kepariwisataan menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah, usaha pariwisata dan masyarakat yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasai 42
(1) Pengembangan sumber daya manusia di bidang kepariwisataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dilaksanakan berdasarkan standarisasi, akreditasi dan sertifikasi.
(2) Tata cara pelaksanaan standarisasi, akreditasi dan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kedua
Standarisasi dan Sertifikasi
Pasai 43
(1) Tenaga kerja di bidang kepariwisataan memiliki standar kompetensi.
(2) Standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi kompetensi.
(3) Sertifikasi kompetensi dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi yang telah mendapat lisensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 44
(1) Produk, pelayanan dan pengelolaan usaha pariwisata memiliki standar usaha.
(2) Standar usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi usaha.
(3) Sertifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh lembaga mandiri yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Tenaga Kerja Ahli Warga Negara Asing
Pasai 45
(1) Pengusaha pariwisata dapat mempekerjakan tenaga kerja ahli warga negara asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Tenaga kerja ahli warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari organisasi asosiasi pekerja profesional kepariwisataan.
BAB XII
PEMANTAUAN, EVALUASI,
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasai 46
Dinas dan unsur terkait melaksanakan pemantauan, evaluasi, pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kepariwisataan dengan memberikan bimbingan, petunjuk teknis maupun operasional.
BAB XIII
PENDANAAN
Pasal 47
(1) Pendanaan kegiatan kepariwisataan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah Daerah, pengusaha dan masyarakat.
(2) Pengelolaan dana kepariwisataan dilakukan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik.
Pasal 48
Pemerintah Daerah mengalokasikan sebagian dari pendapatan yang diperoleh dari penyelenggaraan pariwisata untuk kepentingan pelestarian alam dan budaya.
Pasal 49
Pemerintah Daerah memberikan peluang pendanaan bagi usaha mikro dan kecil di bidang kepariwisataan.

BAB XIV
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 50
(1) Setiap wisatawan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dikenakan sanksi berupa teguran lisan disertai dengan pemberitahuan mengenai hal yang harus dipenuhi.
(2) Dalam hal wisatawan telah diberi teguran lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tidak diindahkannya, wisatawan yang bersangkutan dapat diusir dari lokasi perbuatan clilakukan.
Pasal 51
(1) Setiap pengusaha pariwisata yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan/atau Pasal 28 dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha; dan
c. pembekuan sementara kegiatan usaha.
(3) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dikenakan kepada pengusaha paling banyak 3 (tiga) kali.
(4) Sanksi pembatasan kegiatan usaha dikenakan kepada pengusaha yang tidak mematuhi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Sanksi pembekuan sementara kegiatan usaha dikenakan kepada pengusaha yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
Pasai 52
Pelaksanaan Pasal 50 dan Pasal 51 dilakukan oleh Pejabat pada Dinas.
BAB XV
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasai 53
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kepariwisataan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana atas pelanggaran Peraturan Daerah;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;
c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dari kegiatannya dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan penyitaan benda dan/ atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang tersangka;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g.mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya;
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA
Pasai 54
(1) Setiap orang atau badan hukum yang melanggar ketentuan dalam Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31 diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
(3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke Kas Umum Daerah.
Pasai 55
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, terhadap pelaku tindak pidana dapat dikenakan pidana atau denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Ketentuan lebih Ianjut mengenai hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 57
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Malang.
PENJELASAN ATAS PER.ATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG
NOMOR TAHUN 2013
TENTANG
PENYELENGGARAAN KEPARIWISATAAN
1. UMUM
Sebagaimana diketahui bahwa Kabupaten Malang telah mencanangkan sebagai daerah tujuan pariwisata atau destinasi pariwisata, maka segala aspek pengaturan penyelenggaraan kepariwisataan harus diatur sedemikian rupa sehingga terwujud kepastian hukum terhadap usaha pariwisata. Selain itu pengaturan penyelenggaraan kepariwisataan dapat mendukung tumbuhnya investasi di bidang kepariwisataan dengan tetap mengedepankan aspek perlindungan terhadap norma agama, adat dan nilai budaya.
Mengingat wilayah Kabupaten Malang terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan, dengan demikian tidak keliru apabila kita telah mengklaim bahwa Kabupaten Malang adalah "Pesona Jawa Timur yang Sesungguhnya". Klaim tersebut tidaklah berlebihan, karena Kabupaten Malang memiliki berbagai obyek wisata yang potensial seperti, wisata alam (air terjun, pantai, taman nasional), wisata budaya/religi (padepokan seni, pesarean, pertapaan, candi) maupun wisata buatan (pemandian, bendungan, taman rekreasi).
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Malang Tahun 2010-2015 dijelaskan dalam perspektif promosi daerah guna meningkatkan daya saing, daya tarik dan daya tahan sebagai salah satu strategi pencapaian visi misi pembangunan daerah sejak tahun 2011 hingga 5 (lima) tahun kedepan dicanangkan slogan promosi daerah "Kabupaten Malang sebagai Bumi Agro-Wisata yang Terkemuka di Jawa Timur" dimana dari ikon wisata dengan paket-paket unggulan wisata khas Malangan yaitu paket Singosari, paket Kawasan Menuju Bromo, paket Gunung Kawi, paket Pantai Selatan, paket Wisata Wendit dan paket Kanjuruhan (diselenggarakan dalam rangka Hari Jadi Kabupaten Malang). Beberapa potensi pariwisata di Kabupaten Malang juga sebagai salah satu sektor pendukung Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih memerlukan penanganan secara optimal, khususnya sarana dan prasarana.
Regulasi di bidang kepariwisataan diperlukan pengaturan tentang pengembangan, pengawasan, dan pengelolaan kepariwisataan di Kabupaten Malang. Harapan Pemerintah Kabupaten Malang terhadap Peraturan Daerah tentang Pennyelenggaraan Kepariwisataan adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan potensi pariwisata di Kabupaten Malang dapat dilaksanakan secara optimal baik menyangkut inventarisasi obyek, manajemen pengelolaan kepariwisataan sehingga apabila ditangani dan dikelola dengan baik akan berdampak secara luas bagi masyarakat, antara Iain peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), terciptanya kesempatan kerja serta menghidupkan sektor-sektor Iain seperti industri kerajinan tangan, cinderamata, penginapan dan transportasi;
b. Penguatan regulasi di bidang kepariwisataan.












BAB II
HASIL IDENTIFIKASI

2.1 Latar Belakang Hasil Identifikasi Kasus

Kabupaten Malang yang terletak di provinsi Jawa Timur  memiliki  keindahan di sektor wisatanya,  baik dari  wisata  buatan  maupun  wisata  alamnya  sehingga Kabupaten  Malang layak  menjadi  destinasi  favorit wisatawan yang datang ke kota Malang. Deretan pantai cantik banyak membuat decak kagum wisatawan. Tanjung dan teluk yang ada merupakan tempat  yang  indah  dan  sangat  layak  untuk  menjadi destinasi pariwisata yang dapat dikunjungi, dari sekian banyak destinasi pariwisata yang ada, salah satunya merupakan Ekowisata Bowele.
Ekowisata Bowele berada tepatnya di Desa Purwodadi, Tirtoyudo, Kab. Malang, menurut hasil Wawancara dengan Bapak Muklis, Ekowisata Bowele memiliki branding ”The Real Adventure” (petualangan yang sesungguhnya), dan Ekowisata Bowele ini memiliki luas 1041 hektare dan baru dirintis pada tahun 2010, sehingga masih banyak orang yang belum mengetahui tentang adanya tempat wisata ini dan juga belum banyak di kunjungi oleh para wisatawan, maka penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengembangan destination branding Ekowisata Bowele agar dapat meningkatkan brand awareness.
Gambar 1.2 Pantai Bolu-Bolu (Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2017)

Pada gambar 1.2 merupakan hasil dokumentasi peneliti dari pantai Bolu-bolu. Pantai ini memiliki ciri-ciri bebatuan yang  menyerupai poase dari  pecahan-pecahan  batu  tebing  yang  runtuh. Tempat ini biasa untuk dijadikan tempat camping para pengunjung dan dapat dijadikan tempat untuk memancing ikan.
Gambar 1.2 Pantai Wedi Awu (Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2017)
Pada gambar 1.3 merupakan hasil dokumentasi peneliti dari pantai  Wediawu. Pantai  ini terletak dekat dengan jalan utama menuju Ekowisata Bowele. Pantai Wediawu merupakan pantai yang terbentang luas dengan hamparan pasir halus.
Gambar 1.4 Pantai Lenggoksono (Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2017)
Pada gambar 1.4 merupakan hasil dokumentasi peneliti dari pantai Lenggoksono. Pantai ini terbentang luas dan berhiaskan batu-batu alam sebagai ciri pantai ini. Pantai Lenggoksono merupakan destinasi pertama karena untuk mengunjungi   pantai   lainnya   harus menyeberang dengan perahu nelayan di pantai ini.Agar  dapat  meningkatkan  peran  kepariwisataan, sangat   terkait antara barang berupa obyek wisata sendiri yang dapat dijual dengan sarana dan prasarana yang mendukung. Usaha mengembangkan suatu daerah tujuan wisata harus  memperhatikan  berbagai faktor  yang  berpengaruh  terhadap  keberadaan  suatu daerah tujuan wisata.
Adapun permasalahan yang dihadapi oleh Ekowisata Bowele, masih banyak orang  yang  belum mengetahui  tentang adanya tempa wisata ini dan juga belum mengetahui apa branding dari ekowisata bowele ini. Maka penulis mempunyai  terobosan  untuk  melakukan  suatu penelitian berupa Pengembangan Branding Bowele yang bertujuan untuk menentukan media komunikasi visual yang efektif dan komunikatif tentang Bowele sebagai upaya   memiliki brand sebagai destination Ekowisata di Kabupaten Malang. Sehingga melalui penelitian ini mampu membuat khalayak umum domestik maupun mancanegara dapat   mengenali lebih jauh tentang Brand dari Ekowisata Bowele.
Melalui destination branding ini citra yang dibangun oleh Ekowisata Bowele diharapkan memiliki fungsi awareness di mata khalayak umum, sehingga dapat memberikan devisa  pemerintahan  dari  sektor kepariwisataan serta dapat menyediakan lapangan usaha bagi warga setempat berupa penyedia jasa layanan dan akomodasi hingga Usaha Kecil Menengah (UKM).

2.2 Penjabaran Hasil Identefikasi
2.2.1 TIC (Tourism Information Center) Kabupaten Malang
A. TIC Abd Rahman Saleh
TIC Bandara Abd. Saleh beralamat di Jl. Jakarta No. 56 Malang Jawa Timur yang di kelola oleh bapak Sonny sebagai ketua danpengelola. Adapun kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh TIC ini adalah memasarkan jasa transportasi seperti jasa kreta api, pesawat terbang, travel dan memberi informasi tentang paket wisata yang ada di Kabupaten Malang. Tidak terdapat keluhan-keluhan dari pak Sonny sebagai pengelola, karena sudah memiliki kantor yang bagus dan dilengkapi dengan fasilitas yang memadai sehingga tidak menghambat proses pemasaran di TIC tersebut.

B. TIC Bowele
TIC Bowele beralamat di Desa Purwodadi kecamatan Tirtoyudo kabupaten Malang yang dikelola oleh Bapak Muchlis. TIC ini diresmikan pada tanggal 06 Oktober 2015 dan diresmikan langsung oleh kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yaitu Bapak Made Arya Wedanthara, SH, M.Si. pantai Bowele ini merupakan singkatan dari nama pantai Bolu-Bolu, pantai Wediawu dan Lenggoksono. Pantai ini memiliki banyak potensi, dari keindahan alamnya, ombak yang bagus untuk surfing dan keindahan bawah lautnya untuk ber-snorking.Tujuan didirikan TIC (Tourism Information Center) ini adalah untuk dapat mengembangkan potensi wisata khususnya yang ada di daerah Lenggoksono dan sekitarnya serta mampu meningkatkan perekonomian di daerah tersebut.
C. Desa Wisata Pujon Kidul
Desa Wisata Pujon Kidul, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, terus bersolek. Seperti seorang gadis yang sedang senang-senangnya berdandan. Tak heran dalam tiga bulan terakhir ini banyak perubahan fantastis yang terjadi.
Jumlah canopy di café sawah, yang tersebar di area persawahan semi organic mulai bertambah. Demikian pula mini gazebo, serta tempat kandang kuda yang pembangunannya hampir selesai. Tak heran bila kunjungan wisatawan kini mencapai angka rata-rata 3000 lebih tiap hari Sabtu dan Minggu dan sekitar 500 pengunjung pada hari-hari biyasa..
Perubahan fantastis ini juga berkat kerja sama desa dengan salah satu bank diindonesia yaitu bank BNI. untuk mengucurkan dana berupa kredit usaha rakyat (KUR) kepada warga yang memiliki usaha menunjang keberadaan desa wisata Pujon Kidul.
Sebagai desa wisata yang memiliki kawasan rumah kampung lestari, Pujon Kidul memang tidak hanyak mengedepankan wisata alam seperti cafe sawah. Tapi juga ditunjang dusunnya memiliki sejumlah aktivitas warganya yang produktif. Ada dusun yang konsentrasi khusus susu sapi. Sehingga dusun ini disebut kampung susu.  Ada pula dusun yang warganya konsentrasi pada budi daya tanaman toga. Sehingga disebut kampung Toga. Ada pula kampung markisa, apel dan jambu merah. “Kalau untuk jambu merah sudah bisa dipetik untuk wisata petik buah” kata pak Udi,selaku Kepala Desa Pujon Kidul, Kecamatan Pujon.
Tingginya animo masyarakat Desa Pujon Kidul, menjadikan kawasan desanya benar-benar desa wisata yang produktif dan ada diversifikasi usaha ini, tak lepas dari sinergi Desa Pujon Kidul dengan Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), salah satu BUMN yang  melakukan distribusi hasil pertanian milik warga Desa Pujon Kidul.
Menurut Pak Udi, kehadiran PPI itu sangat disambut begitu antusias warganya. Karena warga nantinya tak terlalu repot memasarkan produksi pertaniannya. ‘’Makanya warga semangat. Mereka sudah ndak pusing lagi untuk masarkannya. Karena akan dibantu PPI,’’ ujarnya.
Berkat predikat sebagai desa wisata itu, Pendapatan desa pun terdongkrak. Pada tahun 2016 lalu, pendapatan asli desa Pujon Kidul menembus Rp 80 juta. Ini capaian PADes tertinggi dibandingkan dengan 377 desa lain se-Kabupaten Malang.
Desa Wisata Pujon Kidul ini memang benar-benar komplit. Tidak hanya memaksimalkan hasil pertanian. Tetapi mampu membuka lapangan baru. Keberadaan cafe sawah ternyata menyedot lapangan kerja tersendiri. Bisa dibayangkan untuk pengelolaan cafe sawah saja sudah menyedot 33 karyawan yang merupakan remaja dan pemuda desa setempat.
Dan untuk strategi pemasarannya sendiri melalui media sosial seperti websate, instagram, dll.

D. TIC Bonderland
TIC Bonderland yang berlokasi di Dusun Bunder, Genengan Pakisaji Kabupaten Malang. TIC Bonderland dikelola oleh Bapak Yaqub, jarak dari Pusat Kota sekitar 8 Km untuk dapat berkunjung ke tempat ini. fasilitas yang dapat dinikmati pengunjung, yaitu kolam ombak, kolam Jacuzzi, kolam renang anak dan dewasa, serta wahana funfair. Selain itu juga Bonderland menyediakan tempat bermain anak, tempat rekreasi, ayunan, motor ini, taman satwa, panggung hiburan, hall, mandi bola dan beragam tempat main lainnya.
Tempat ini telah menjadi salah satu tujuana wisata yang sering dikujungi oleh wisatawan yang menjelang akhir pekan. Selain dapat menikmati wahana yang ada, pada hari libur para pengunjung juga akan dihibur dengan “Special Show Theater” yang ditampilakan oleh team keratif Bonderland.  Bonderland hadir dengan konsep “Wisata Air Kolam Theater” yang cukup unik karena lokasinya yang ada dilingkungan pedesaan. Tentu dengan perbaikan dan menambah inovasi fasilitas.

2.2.2 Destinasi Wisata Kabupaten Malang
A. Destinasi Agro Tawon Petik Madu
TIC Agro Tawon ini berada di Lawang, berdiri pada tahun 2013 dan sempat mengalami kevakuman selama 1 tahun silam karena kinerja yang kurang baik. Rencana awal untuk membuka destinasi ini adalah  melihat dari hobinya ayahnya pak haryono.
Untuk pembibitan tawonnya mulai pada tahun 2010, sarangnya dengan cara buat sendiri, dan produk, yang di hasilkan adalah seperti madu polen, royal jelly, dan juga propolis (propolis ini juga bisa dibuat untuk merawat tawonnya yang sedang sakit). Di destinasi petik madu ini ada juga tempat untuk Petik organik pembibitan sayuran, dan apabila ada anak ingin belajar membuat your good juga bias.
Di destinasi petik madu ini tidak ada tiket masuk/free, dikarenakan apabila ada orang yang mau belajar membibit madu bisa belajar langsung secara bersama-sama.

     B. TIC Graha wiyata
TIC Graha wiyata terletak di Jalan Indrokilo Selatan (50m) sebelum Patal Lawang, berdiri pada awal tahun 2015 dengan kondisi di dalam TIC hanya terdapat kolam renang dan beberapa tanaman-tamanaman langka,
Di tempat wisata ini pengunjung akan diberi program pengarahan dan game yang mendidik karakter, team building, leadership, personal development, experential learning dan team work. Dalam wawancara dengan pak Tarmudji mengungkapkan  “Tujuan kami mendirikan wisata ini memang untuk membentuk karakter seseorang, rasa percaya diri dan jiwa kepemimpinan,''
Ditambahkan, di objek wisata ini peserta akan dibimbing agar pskilogisnya berkembang melalui game-game edukasi. Menurut pak Tarmudji ''Pertama pengunjung diberi pengarahan dan gambaran jiwa kepemimpinan dan karakter seseorang. Nantinya mereka dengan sendirinya akan bisa memahami karakternya sendiri seperti apa,''
Ditambahkan, para generasi muda saat ini harus dibimbing dan disibukkan dengan hal-hal yang bisa membangun karakter positif mereka. “Jangan sampai mereka terjerumus pergaulan bebas, narkoba, dan free sex,” kata pak Tarmudji.
Objek wisata ini setiap hari dibuka mulai pukul 09.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Hanya dengan Rp 100 ribu, Anda dijamin bisa menikmati permainan sekaligus belajar banyak di objek wisata ini.
C. Destinasi Hawai
Hawai Waterpark dibangun di atas lahan 28.000 meter persegi pada tahun 2014 dan mulai dioperasikan pada pertengahan tahun 2015. Wisata air ini terletak di perumahan Graha kencana JI. Raya Karanglo Malang dengan akses yang sangat strategis yang bisa diakses dari bandara. Stasiun dan juga terminal. Ada 10 wahana yang terdapat di Hawai Waterpark Malang, yaitu Hawai Water House, Wakiki Beach, Wailele Slide. Dari Sepuuh Wahana yang ada, ada dua wahana yang menjadi unggulan di Hawai Waterpark Malang yaitu Hawai Water House dan Tsunami Pool (Wakiki Beach).
Target pemasaran Hawai water park adalah masyarakat menengah ketas, dan juga tidak menutup kemungkina untuk semua lapisan masyarakat dari anak-anak sampai orang tua, dikarenakan Hawai Water Park ini sangat cocok untuk orang-orang yang berlibur dengan keluarga mereka.
Sedangkan untuk Team marketing di Hawai Water Park ini ditugaskan untuk melakukan yang pertama target pomosi, dan yang kedua melalui sosial media.
Dan untuk keamanan di Hawai Water Park ini didampingi oleh left gart dan setiap wahana minimal ada 2 left gart. Dan pada saat pengunjung mau memasuki wahana maka pengunjung akan diperiksa dari pintu lobi cek in back, semua benda makanan minuman tidak boleh dibawa masuk, danjuga senjata tajam, tampa terkecuali, walaupun aparatpun juga tidak diperbolehkan.
Wahana water ini park sudah memiliki standart internasional, dikarenakan semua wahana didatangkan dari turki. Dan wahana ini juga sudah memiliki izin untuk pemasangan wahana.
Dan jumlah pengunjung di wahana water park ini kalau weekend bisa mencapai 3000 pengunjung, dan untuk week day sekitar 1000-2000 pengunjung.
Untuk kelebihan dari Wahana Water Park ini mempunyai ketinggian mencapai 7m, dan tiketnya juga murah dari pada wahana lainnya contoh saja ciputra jakarta, dan kekurangan di wahana water park ini adalah sisitemnya dilobi, dan juga pada saat pemeriksaan mau masuk wahana tidak semua orang mau diperiksa, dan juga kurangnya pemahaman kepada costumer.

                       






BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Konsep Pengembangan Pariwisata Pengembangan pariwisata merupakan suatu rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya pariwisata mengintegrasikan segala bentuk aspek di luar pariwisata yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung akan kelangsungan pengembangan pariwisata. (Swarbrooke 1996;99) Terdapat beberapa jenis pengembangan, yaitu :
a. Keseluruhan dengan tujuan baru, membangun atraksi di situs yang tadinya tidak digunakansebagai atraksi.
b. Tujuan baru, membangun atraksi pada situs yang sebelumnya telah digunakan sebagai atraksi.
c. Pengembangan baru secara keseluruhan pada keberadaan atraksi yang dibangun untuk menarik  pengunjung lebih banyak dan untuk membuat atraksi tersebut dapat mencapai pasar yang lebihluas, dengan meraih pangsa pasar yang baru.
d. Pengembangan baru pada keberadaan atraksi yang bertujuan untuk meningkatkan fasilitas pengunjung atau mengantisipasi meningkatnya pengeluaran sekunder oleh pengunjung.
e. Penciptaan kegiatan-kegiatan baru atau tahapan dari kegiatan yang berpindah dari satu tempatke tempat lain dimana kegiatan tersebut memerlukan modifikasi bangunan dan struktur.
Dalam pengembangan pariwisata diperlukan aspek-aspek untuk mendukung pengembangan tersebut. Adapun aspek-aspek yang dimaksudkan adalah sebagai berikut :
Menurut UU RI No. 23 Tahun 1997 dalam Marsongko (2001), lilngkungan hidup adalahkesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhikelangsungan peri-kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Yang termasuk dalam lingkungan fisik berdasarkan olahan dari berbagai sumber, yaitu :
a.       GeografiAspek geografi meliputi luas kawasan DTW, Luas area terpakai, dan juga batas administrasiserta batas alam.
b.      TopografiMerupakan bentuk permukaan suatu daerah khususnya konfigurasi dan kemiringan lahanseperti dataran berbukit dan area pegunungan yang menyangkut ketinggian rata-rata dari permukaan laut, dan konfigurasi umum lahan.
c.       Geologi Aspek dari karakteristik geologi yang penting dipertimbangkan termasuk jenis materi altanah, kestabilan, daya serap, serta erosi dan kesuburan tanah.
d.      KlimatologiTermasuk temperatur udara, kelembaban, curah hujan, kekuatan tiupan angin, penyinaranmatahari rata-rata dan variasi musim.
e.       Hidrologi Termasuk di dalamnya karakteristik dari daerah aliran sungai, pantai dan laut seperti arus,sedimentasi, abrasi.
f.        Visability Menurut Salim (1985;2239), yang dimaksud dengan visability adalah pemandanganterutama dari ujung jalan yang kanan-kirinya berpohon (barisan pepohonan yang panjang).
g.       Vegetasi dan Wildlife Daerah habitat perlu dipertimbangkan untuk menjaga kelangsungan hidup vegetasi dankehidupan liar untuk masa sekarang dan akan datang. Secara umum dapat dikategorikan sebagai tanaman tinggi, tanaman rendah (termasuk padang rumput) beserta spesies-spesiesflora dan fauna yang terdapat di dalamnya baik langka, berbahaya, dominan, produksi, konservasi maupun komersial.

3.1.2        Aspek Daya Tarik Pariwisata
Aspek daya tarik pariwisata dapat berkembang di suatu tempat pada dasarnya karena tempat tersebutmemiliki daya tarik, yang mampu mendorong wisatawan untuk datang mengunjunginya.
Murray (1993) di dalam Gunn (1979;50) menyebutkan a thing or feature which draws people by appealing to their desires, taste, etc. Especially an interesting or amusing exhibitionwhich draws crowds.
Gunn (1979;48) juga berpendapat bahwa attraction are the on-location places in region that not only provide the things for tourist to see and do but also offer the lure to travel.
Menurut Inskeep (1991;77) daya tarik dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu :
a.       Natural attraction :
berdasarkan pada bentukan lingkungan alami
b.      Cultural attraction :
berdasarkan pada aktivitas manusia
c.       Special types of attraction :
atraksi ini tidak berhubungan dengan kedua kategori diatas, tetapimerupakan atraksi buatan seperti theme park, circus, shopping.
Yang termasuk dalam natural attraction diantaranya iklim, pemandangan, flora dan faunaserta keunikan alam lainnya. Sedangkan cultural attraction mencakup sejarah, arkeologi, religidan kehidupan tradisional.
3.1.3        Aspek Aksesibilitas
Salah satu komponen infrastruktur yang penting dalam destinasi adalah aksesibilitas. Aksesibilitas menurut Bovy dan Lawson (1998;107), “... should be possible by public transport and bicycle trails, by pedesterian paths (from neighborhoods) and by cars (mainly families,with an average of three persons/car)”.
Akses yang bersifat fisik maupun non fisik untuk menuju suatu destinasi merupakan hal penting dalam pengembangan pariwisata. Aspek fisik yang menyangkut jalan, kelengkapanfasilitas dalam radius tertentu, frekuensi transportasi umum dari terminal terdekat.Menurut Bovy dan Lawson (1998;202), jaringan jalan memiliki dua peran penting dalamkegiatan pariwisata, yaitu :
a.       Sebagai alat akses, transport, komunikasi antara pengunjung atau wisatawan denganatraksi rekreasi atau fasilitas.
b.      Sebagai cara untuk melihat-lihat (sightseeing) dan menemukan suatu tempat yangmembutuhkan perencanaan dalam penentuan pemandangan yang dapat dilihat selama perjalanan.
Pada peran kedua, menunjukan aspek non fisik yang juga merupakan faktor penting dalammendukung aksesibilitas secara keseluruhan, dapat berupa keamanan sepanjang jalan, danwaktu tempuh dari tempat asal menuju ke destinasi. Lebih lanjut Bovy dan Lawson (1998;203) membagi jalan untuk kepentingan wisatawanmenjadi tiga kategori, yaitu :
a. Jalan Utama yang menghubungkan wilayah destinasi utama dengan jaringan jalan nasional atau jalan utama di luar kawasan.
b. Jalan Pengunjung, yaitu jalan sekunder yang biasanya beraspal (makadam) ataupun gravel yang menghubungkan dengan fasilitas wisata yang spesifik seperti resort, hotel yang terpisah, restoran atau atraksi rekreasi lainnya.
c. Sirkuit Pengunjung, untuk kegiatan melihat-lihat dengan pemandangan yang menarik disepanjang jalannya.

3.1.4        Aspek Aktivitas dan Fasilitas
                        Dalam pengembangan sebuah objek wisata dibutuhkan adanya fasilitas yang berfungsisebagai pelengkap dan untuk memenuhi berbagai kebutuhan wisatawan yang bermacam-macam. Menurut Bukart dan Medlik (1974;133), fasilitas bukanlah merupakan faktor utamayang dapat menstimulasi kedatangan wisatawan ke suatu destinasi wisata, tetapi ketiadaanfasilitas dapat menghalangi wisatawan dalam menikmati atraksi wisata. Pada intinya, fungsifasilitas haruslah bersifat melayani dan mempermudah kegiatan atau aktivitas pengunjung/wisatawan yang dilakukan dalam rangka mendapat pengalaman rekreasi.Di samping itu, fasilitas dapat pula menjadi daya tarik wisata apabila penyajiannyadisertai dengan keramahtamahan yang menyenangkan wisatawan, dimana keramahtamahandapat mengangkat pemberian jasa menjadi suatu atraksi wisata. Bovy dan Lawson (1979;9)menyebutkan bahwa fasilitas adalah atraksi buatan manusia yang berbeda dari daya tarik wisatayang lebih cenderung berupa sumber daya.
3.1.5        Aspek Sosia Ekonomi dan Budaya
Dalam analisa sosial ekonomi membahas mengenai mata pencaharian penduduk, komposisi penduduk, angkatan kerja, latar belakang pendidikan masyarakat sekitar, dan penyebaran penduduk dalam suatu wilayah. Hal ini perlu dipertimbangkan karena dapat menjadi suatu tolak ukur mengenai apakah posisi pariwisata menjadi sektor unggulan dalamsuatu wilayah tertentu ataukah suatu sektor yang kurang menguntungkan dan kurang selaras dengan kondisi perekonomian yang ada.Selanjutnya adalah mengenai aspek sosial budaya, dimana aspek kebudayaan dapat diangkat sebagai suatu topik pada suatu kawasan.
Dennis L. Foster (2000) menjelaskan mengenai Pengaruh Kebudayaan (cultural influences) sebagai berikut : “Para pelaku perjalanan tidak membuat keputusan hanya berdasarkan pada informasi pemrosesan dan pengevaluasian. Mereka juga dipengaruhi oleh faktor kebudayaan, masyarakat, dan gaya hidupnya. Kebudayaanitu cenderung seperti pakaian tradisional dan kepercayaan pada suatu masyarakat, religi, ataukelompok etnik (ethnic group)


3.2 Branding
3.2.1 Pengertian Branding
Branding adalah nama, istilah, tanda, simbol, atau rancangan, atau kombinasi dari semuanya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan barang atau jasa atau kelompok penjual dan untuk mendiferensiasikannya (membedakan) dari barang atau jasa pesaing (Kotler, 2009:332).
Pengertian branding telah berkembang, dari sekadar merek atau nama dagang dari suatu produk, jasa atau perusahaan, yang berkaitan dengan hal-hal yang kasat mata dari merek; seperti nama dagang, logo atau ciri visual lainnya, kini juga berarti citra, kredibilitas, karakter, kesan, persepsi dan anggapan di benak konsumen (Landa, 2006:4).
Bagi sebuah perusahaan, branding tidak sekadar berfungsi sebagai corporate identity, tetapi dapat meningkatkan brand image (Citra yang terbentuk dalam benak konsumen mengenai sebuah merk tertentu) yang luar biasa, jika digarap dengan profesional.
Branding berarti suatu pernyataan mengenai siapa (identitas), apa yang dilakukan (produk/jasa yang ditawarkan), dan mengenai kenapa suatu merek layak dipilih (keistimewaan). Brand adalah reputasi, merek yang memiliki reputasi adalah merek yang menjanjikan, sehingga publik mempercayai dan memilih merek tersebut (Neumeier, 2003:54).

3.2.3 Fungsi & Tujuan Branding
Fungsi Branding adalah untuk menanamkan image dan citranya di masyarakat bahkan konsumennya, jika perusahaan tersebut memiliki produk yang mereka jual, sehingga dengan adanya branding (merk dagang atau corporate identity) diharapkan brand atau merk mereka akan senantiasa diingat oleh masyarakat atau konsumennya dalam jangka waktu yang lama.
Terdapat tiga tujuan dalam membangun brand, yaitu: membentuk persepsi, membangun kepercayaan dan membangun cinta (kepada brand) (Neumeier, 2003:41).
Fungsi branding secara detail dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pembeda
Suatu produk akan memiliki perbedaan dengan pesaingnya bila memiliki brand yang kuat, sehingga sebuah brand dapat dengan mudah dibedakan dari brand yang lain.
2. Promosi dan Daya Tarik
Produk yang memiliki brand akan dengan mudah dipromosikan dan menjadi daya tariknya. Promosi sebuah brand akan dengan mudah mempromosikan produknya dengan menampilkan logo brand tersebut.
3. Pembangun Citra, Pemberi Keyakinan, Jaminan Kualitas, dan Prestise
Sebuah brand juga berfungsi membentuk citra dengan memberi alat pengenalan pertama kepada masyarakat. Keyakinan, kualitas dan prestise sebuah produk akan melekat dalam sebuah brand dari pengalaman dan informasi dari produk tersebut.
4. Pengendali Pasar
Pasar akan mudah dikendalikan oleh brand yang kuat. Brand tersebut akan menjadi peringatan bagi para kompetitornya untuk mengambil setiap langkah yang diambilnya, di samping itu masyarakat akan dengan mudah diberi informasi tambahan dengan adanya brand yang diingat olehnya.

3.2.4 Unsur-unsur Branding
Unsur terpenting dari suatu brand adalah nama dagang atau merek. Namun demikian brand tidak cukup bila hanya didukung dengan lambang atau simbol identitas visual yang secara konsisten dan sistematis diterapkan pada berbagai media pendukung komunikasi pemasaran suatu brand.
Unsur-unsur branding adalah sebagai berikut:
1.      Nama Merek
2.      Logo: logo, logotype, monogram, bendera.
3.      Penampilan visual: desain kemasan, desain produk, desain seragam, desain bangunan, desain kendaraan.
4.      Juru bicara: pesohor, tokoh pendiri, tokoh perusahaan, tokoh ciptaan, mascot.
5.      Kata-kata: akronim, nama panggilan, slogan, tag line, jingle.
6.      Suara: lagu, icon bunyi / nada, lagu tematik.
3.2.5 Jenis-jenis Branding
Branding memiliki beberapa jenis, yaitu sebagai berikut:
a. Product Branding
Branding produk merupakan hal yang paling umum dalam branding. Merek atau produk yang sukses adalah produk yang mampu mendorong konsumen untuk memilih produk miliknya di atas produk-produk pesaing lainnya.
b. Personal Branding
Personal branding merupakan alat pemasaran yang paling populer di kalangan publik figure seperti politisi, musisi, selebriti, dan lainnya, sehingga mereka memiliki pandangan tersendiri di mata masyarakat.
c. Corporate Branding
Corporate branding penting untuk mengembangkan reputasi sebuah perusahaan di pasar, meliputi semua aspek perusahaan tersebut mulai dari produk/jasa yang ditawarkan hingga kontribusi karyawan mereka terhadap masyarakat.
d. Geographic Branding
Geographic branding atau regional bertujuan untuk memunculkan gambaran dari produk atau jasa ketika nama lokasi tersebut disebutkan oleh seseorang.
e. Cultural Branding
Cultural branding mengembangkan reputasi mengenai lingkungan dan orang-orang dari lokasi tertentu atau kebangsaan.

3.2      Ekowisata
          3.3.1 Pengertian ekowisata
Salah satu definisi awal dari ekowisata diberikan oleh Ceballos-Lascurain sebagai sebuah perjalanan wisata yang biasanya  tidak mengganggu atau tidak mengkontaminasi unsur alami suatu daerah dan biasanya dilakukan dengan tujuan spesifik yakni belajar, mengagumi, dan menikmati pemandangan dan tumbuhan dan hewan liar, serta belajar mendalami budaya lokal (Ceballos-Lascurain,1987:Cobbiath,2015). Ekowisata juga dapat diartikan sebagai kegiatan wisata yang bertanggung jawab ke tempat-tempat alam yang melestarikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan hidup dari masyarakat lokal (García, 2013).
Ekowisata merupakan salah satu usaha yang memprioritaskan berbagai produk-produk pariwisata berdasarkan sumberdaya alam, pengelolaan ekowisata untuk meminimalkan dampak terhadap lingkungan hidup, pendidikan berasaskan lingkungan hidup, sumbangan kepada kegaitan konservasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (UNWTO, 2002). The International Ecotourism Society (2002) mendefinisikan ekowisata sebagai perjalanan ke lokasi alam yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan dan mensejahterakan masyarakat lokal. Dari definisi tersebut, disebutkan bahwa ekowisata merupakan perjalanan wisata yang berlokasi di alam bebas yang mana dalam aktivitasnya sangat bergantung kepada alam, sehingga lingkugnan ekosistem dan kearifan lokal yang ada di dalamnya harus dilestarikan keberadaannya agar terciptanya suatu keberlanjutan ekologi. 
Ekowisata merupakan perjalanan wisata ke suatu lingkungan baik alam yang alami maupun buatan serta budaya yang ada dan bersifat informatid dan partisipatif yang bertujuan untuk menjamin kelestarian alam dan sosial budaya. Ekowisata menitikberatkan pada tiga hal utama yaitu keberlangsungan alam atau ekologi, memberikan manfaat ekonomi dan secara psikologi dapat diterima dalam kehidupan sosial masyarakat. Kegiatan ekowisata secara langsung memberi akses kepada semua orang untuk melihat, mengetahui dan menikmati pengalaman alam, intelektual dan budaya untuk mempelajari lebih jauh tentang pentingnya berbagai ragam makhluk hidup dan budaya lokal yang berkembang di kawasan tersebut. Kegiatan ekowisata dapat meningkatkan pendapatan untuk pelestarian alam yang dijadikan sebagai tujuan ekowisata dan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi kehidupan masyarakat yang berada di daerah tersebut (Subadra, 2008)
Dari beberapa pengertian di atas dapat diketahui bahwa terdapat penekanan terhadap kepentingan lingkungan dan sosial-ekonomi dari ekowisata untuk negara-negara berkembang. Ekowisata dapat diinterpretasikan sebagai sebuah konsep yang dapat menjadi solusi untuk semua permasalahan dalam pariwisata, pengembangan ekonomi, pelestarian lingkungan dan budaya serta pengurangan kemiskinan (Cobbinah, 2015).

      3.3.2 Wisata Alam dan Kesadaran lingkungan
Lukman Hakim (2004) menyatakan bahwa seiring dengan berkembangnya wisata masal munculnya sebuah aktivitas wisata yang dikenal sebagai wisata alam menjadi salah satu pilihan bagi para wisatawan untuk berwisata. Temasuk dalam wisata alam, antara lain hiking, biking, sailing dan camping. Di dalam wisata alam dikenal juga istilah adventure tourism merujuk pada kegiatan wisata alam namun lebih mempunyai nilai tantangan tersendiri seperti panjat tebing, diving di dalam laut dan kayak. Tempat-tempat wisata untuk wisata alam ini kebanyakan berada pada kawasan yang dilindungi seperti taman nasional, taman laut, cagar alam, taman hutan raya, dll. 
Tak sedikit wisatawan yang membantu menurunkan nilai situs atau monumen alam dengan cara mencoret, mengotori komponen situs alam tersebut. Sehingga kesadaran untuk membangun sebuah kesadaran manusia terhadap konservasi lingkungan hidup diperlukan.
Honey (1999) berpendapat membangun kesadaran konservasi dapat dilakukan dengan pendidikan informal melalui jasa sektor wisata. Berdasarkan pengetahuan dan motivasinya maka wisatawan dibedakan menjadi dua kategori yakni wisatawan biasa dan wisatawan eco-tourist. Hal yang membedakan diantara dua jenis wisatawan itu adalah motivasi mengunjungi destinasi wisata; wisatawan eco-tourist memiliki tujuan khusus.
Nugroho (2015) menyatakan bahwa ekowisata merupakan kegiatan perjalanan wisata yang dikemas secara professional, terlatih dan memuat unsur pendidikan sebagai suatu sektor atau usaha ekonomi yang mempertimbangkan warisan budaya, partisipasi dan kesejahteraan penduduk lokal serta upaya-upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungan. Ekowisata sebagian dari sustainable tourism. Sustainable tourism adalah sektor ekonomi yang lebih luas dari ekowisata yagn mencakup sektor-sektor pendukung kegiatan wisata secara umum meliputi wisata bahari (beach and sun tourism), wisata pedesaan (rural and agro tourism), wisata alam (natural tourism), wisata budaya (cultural tourism) atau perjalanan bisnis (business travel) . 
 






Sumber: (2002): Nugroho
     3.3.4 Prinsip Ekowisata
Menurut Kementrian Pariwisata Indonesia dan WWF-Indonesia (2009), Beberapa aspek kunci dalam ekowisata adalah:
a) Jumlah pengunjung terbatas atau diatur supaya sesuai dengan daya dukung lingkungan dan sosial-budaya masyarakat (vs mass tourism)
b)  Pola wisata ramah lingkungan (nilai konservasi)
c)  Pola wisata ramah budaya dan adat setempat (nilai edukasi dan wisata)
d)  Membantu secara langsung perekonomian masyarakat lokal (nilai ekonomi)
e)  Modal awal yang diperlukan untuk infrastruktur tidak besar (nilai partisipasi masyarakat dan ekonomi)
Fennel (2001) dalam Cobbinath (2015) menyatakan terdapat lima prinsip dasar dari ekowisata yakni : 
a)      Kelestarian lingkungan
Prinsip ini meliputi semua kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan alam, termasuk kegiatan berbasis alam, pendidikan dan perlindungan alam, dan dampak lingkungan yang minimal untuk memastikan keberlanjutan ekologi.
b)      Pelestarian Budaya
Sehubungan dengan prinsip pelestarian budaya, hal - hal yang dilakukan dapat berupa promosi pelestarian budaya, dan menghormati budaya lokal.
Hal tersebut dapat menyuguhkan pengalaman baru bagi para wisatawan,
yakni pengalaman lintas budaya antara budaya wisatawan dan masyarakat setempat. 
c)      Partisipasi masyarakat / komunitas masyarakat, 
Prinsip ini memastikan bahwa kegiatan ekowisata melibatkan masyarakat setempat, dan beroperasi secara kooperatif dengan pemerintah setempat dan wisatawan untuk memenuhi kebutuhan lokal sembari memberikan manfaaat bagi warga lokal dan melestarikan lingkungan. Sehinnga, Dengan prinsip ini masyarakat lokal juga turut berkontribusi untuk menciptakan kepuasan kunjungan wisata dan memastikan keberlangsungan pendekatan ini. 
d)      Manfaat Keuangan 
Prinsip ekowisata ini juga memberikan manfaat ekonomi kepada negara tuan rumah, khususnya masyarakat yang tinggal di dan berdekatan dengan daerah daya tarik wisata (Page dan Dowling, 2002; TIES, 2013). Dalam memaksimalkan manfaat ekonomi, ekowisata mendorong adanya kegiatan daur ulang, efisiensi energi, konservasi air, dan penciptaan peluang ekonomi bagi masyarakat lokal (Randall, 1987). Honey (1999) dalam Cobbinath (2015) lebih lanjut menunjukkan bahwa salah satu tujuan mendasar dari ekowisata adalah untuk merangsang pembangunan ekonomi baik di tingkat lokal dan nasional.
e)      Pemberdayaan Kelompok Rentan.
Semakin banyaknya kesadaran penerapan ekowisata sebagai pengembangan pariwisata suatu daerah, seharusnya pendekatan ini bisa menciptakan lapangan kerja, dan menghasilkan dana untuk pengelolaan dan konservasi alam dan kawasan lindung (Weaver, 1998; Cobbinath, 2015). Tidak hanya itu, Ekowisata juga dapat menjaring dan memberdayakan kelompok rentan, khususnya perempuan, yang merupakan mayoritas dari penduduk daerah daya tarik wisata di negara berkembang.  (Madu, 2008; Cobbinath 2015). 
Menurut Fandeli C (2000) dalam Pradana (2015)  ekowisata masyarakat ada delapan prinsip :
1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat.
2. Pendidikan konservasi lingkungan, mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam.
3. Pendapatan langusng untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelolaan kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Rertribusi dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam.
4. partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowsiata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif.
5. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam.
6. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya ketidakharmonisan dengan alam akan merusak produk wisata ekologis ini. Menghindari penggunakaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat.
7. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi.
8. Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata maka devisa dan belanja wisatawan di dorong sebesar - besarnya dinikmati oleh negara atau pemerintah daerah setempat.
Dari beberapa prinsip yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui garis besar prinsip dari ekowisata adalah pelestarian lingkungan, pelestarian budaya, membawa manfaat ekonomi dan menjaga kualitas daya dukung kawasan / lingkungan.
Menurut Wood dalam Aziz (2015) prinsip-prisip dasar pengembangan ekowisata  adalah sebagai berikut : 
a. meminimalisasi dampak-dampak negatif terhadap alam dan budaya yang dapat merusak destinasi ekowisata.
b. mendidik wisatawan terhadap pentingnya pelestarian alam dan budaya.
c. mengutamakan pada kepentingan bisnis yang peduli lingkungan yang bekerja sama dengan pihak berwenang dan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan lokal dan mendapatkan keuntungan untuk konservasi.
d. menghasilkan pendapatan yang dipergunkanan untuk pelestarian dan pengelolaan lingkungan dan daerah-daerah yang dilindungi
e. mengutamakan kebutuhan zonasi pariwisata daerah dan perencanaan penanganan wisatawan yang didesain untuk wilayah atau daerah yang masih alami yang dijadikan sebagai destinasi ekowsiata.
f. mengutamakan kepentingan untuk studi yang berkaitan dengan sosial budaya dan lingkungan, begitu juga pemantauan jangka panjang terhadpa obyek ekowisata untuk mengkaji dan mengevaluasi kegaitannya serta meminimalisasi dampak dampak negative.
g. memaksimalkan keuntungan ekonomi untuk negara yang bersangkutan, bisnis dan masyarakat lokal, khususnya masyarakat yang tinggal berdekatan dengan destinasi ekowisata.
h. menjamin bahwa pembangunan ekowsiata tidak mengakibatkan perubahan lingkungan dan sosila budaya yang berlebihan sebagaimana ditentukan oleh para ahli dan peneliti.
i. membangun infrastruktur yang harus ramah lingkungan dan menyatu dengan budaya masyarakat setempat, tidak menggunakan bahan bakar yang terbuat dari fosil dan tidak mengganggu ekosistem flora dan fauna.

Kata Wisata menurut bahasa mengandung arti yang banyak. Akan tetapi dalam istilah yang dikenal sekarang lebih dikhususkan pada sebagian makna itu. Yaitu, yang menunjukkan berjalan-jalan kesuatu negara untuk rekreasi atau untuk melihat-lihat, mencari dan menyaksikan (sesuatu) atau semisal itu. Bukan untuk mengais (rezki), bekerja dan menetap. Silakan lihat kitab Al-Mu’jam Al-Wasith, 469.
Berbicara tentang wisata menurut pandangan Islam, maka harus ada pembagian berikut ini,
3.4.1 Pengertian wisata dalam Islam.
Islam datang untuk merubah banyak pemahaman keliru yang dibawa oleh akal manusia yang pendek, kemudian mengaitkan dengan nilai-nilai dan akhlak yang mulia. Wisata dalam pemahaman sebagian umat terdahulu dikaitkan dengan upaya menyiksa diri dan mengharuskannya untuk berjalan di muka bumi, serta membuat badan letih sebagai hukuman baginya atau zuhud dalam dunianya. Islam datang untuk menghapuskan pemahaman negatif yang berlawanan dengan (makna) wisata.
Diriwayatkan oleh Ibnu Hani dari Ahmad bin Hanbal, beliau ditanya tentang seseorang yang bepergian atau bermukim di suatu kota, mana yang lebih anda sukai? Beliau menjawab: "Wisata tidak ada sedikit pun dalam Islam, tidak juga prilaku para nabi dan orang-orang saleh." (Talbis Iblis, 340).
Ibnu Rajab mengomentari perkataan Imam Ahmad dengan mengatakan: "Wisata dengan pemahaman   ini telah dilakukan oleh sekelompok orang yang dikenal suka beribadah dan bersungguh-sungguh tanpa didasari ilmu. Di antara mereka ada yang kembali ketika mengetahui hal itu." (Fathul-Bari, karangan Ibnu Rajab, 1/56)
Kamudian Islam datang untuk meninggikan pemahaman wisata dengan mengaitkannya dengan tujuan-tujuan yang mulia. Di antaranya
1. Mengaitkan wisata dengan ibadah, sehingga mengharuskan adanya safar -atau wisata- untuk menunaikan salah satu rukun dalam agama yaitu haji pada bulan-bulan tertentu. Disyariatkan umrah ke Baitullah Ta’ala dalam satahun.
Ketika ada seseorang datang kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam minta izin untuk berwisata dengan pemahaman lama, yaitu safar dengan makna  kerahiban atau sekedar menyiksa diri, Nabi sallallahu alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada maksud yang lebih mulia dan tinggi dari sekedar berwisata dengan mengatakan kepadanya, “Sesunguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di jalan Allah.” (HR. Abu Daud, 2486, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud dan dikuatkan sanadnya oleh Al-Iraqi dalam kitab Takhrij Ihya Ulumuddin, no. 2641). Perhatikanlah bagaimana Nabi sallallahu alaihi wa sallam mengaitkan wisata yang dianjurkan dengan tujuan yang agung dan mulia.
2. Demikian pula, dalam pemahaman Islam, wisata dikaitkan dengan ilmu dan pengetahuan.
Pada permulaan Islam, telah ada perjalanan sangat agung dengan tujuan mencari ilmu dan menyebarkannya. Sampai Al-Khatib Al-Bagdady menulis kitab yang terkenal ‘Ar-Rihlah Fi Tolabil Hadits’, di dalamnya beliau mengumpulkan kisah orang yang melakukan perjalanan hanya untuk mendapatkan dan mencari satu hadits saja.
Di antaranya adalah apa yang diucapkan oleh sebagian tabiin terkait dengan firman Allah Ta’ala:
التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدونَ الآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللّهِ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, beribadah, memuji, melawat, ruku, sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu." (QS. At-Taubah: 112)
Ikrimah berkata ‘As-Saa'ihuna’ mereka adalah pencari ilmu. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim  dalam tafsirnya, 7/429. Silakan lihat Fathul Qadir, 2/408. Meskipun penafsiran yang benar menurut mayoritas ulama salaf bahwa yang dimaksud dengan ‘As-Saaihin’ adalah orang-orang  yang berpuasa.
2.      Di antara maksud wisata dalam Islam adalah mengambil pelajaran dan peringatan. Dalam Al-Qur’anulkarim terdapat perintah untuk berjalan di muka bumi di beberapa tempat. Allah berfirman:
قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ ثُمَّ انْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
“Katakanlah: Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu “(QS. Al-An’am: 11)
Dalam ayat lain,
قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ
“Katakanlah: 'Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa.” (QS. An-Naml: 69)
Al-Qasimi rahimahullah berkata; ”Mereka berjalan dan pergi ke beberapa tempat untuk melihat berbagai peninggalan sebagai nasehat, pelajaran dan manfaat lainnya." (Mahasinu At-Ta’wil, 16/225)
4. Mungkin di antara maksud yang paling mulia dari wisata dalam Islam adalah berdakwah kepada Allah Ta’ala, dan menyampaikan kepada manusia cahaya yang diturunkan kepada Muhammad sallallahu alaihi wa sallam. Itulah tugas para Rasul dan para Nabi dan orang-orang setelah mereka dari kalangan para shahabat semoga, Allah meridhai mereka. Para shabat Nabi sallallahu alaihi wa sallam telah menyebar ke ujung dunia untuk mengajarkan kebaikan kepada manusia, mengajak mereka kepada kalimat yang benar. Kami berharap wisata yang ada sekarang mengikuti wisata  yang memiliki tujuan mulia dan agung.
5. Yang terakhir dari pemahaman wisata dalam Islam adalah safar untuk merenungi keindahan ciptaan Allah Ta’la, menikmati indahnya alam nan agung sebagai pendorong jiwa manusia untuk menguatkan keimanan terhadap keesaan Allah dan memotivasi menunaikan kewajiabn hidup.
Karena refresing jiwa perlu untuk memulai semangat kerja baru. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قُلْ سِيرُوا فِي الأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْء قَدِيرٌ ٍ            
"Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Ankabut: 20)
Dalam ajaran Islam yang bijaksana terdapat hukum yang mengatur dan mengarahkan agar  wisata tetap menjaga maksud-maksud yang telah disebutkan tadi, jangan sampai keluar melewati batas, sehingga wisata menjadi sumber keburukan  dan dampak negatif bagi masyarakat. Di antara hukum-hukum itu adalah:
1. Mengharamkan safar dengan maksud mengagungkan tempat tertentu kecuali tiga masjid. Dari  Abu Hurairah radhiallahu anhu sesungguhnya Nabi sallallahu’alai wa sallam bersabda:
لا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلا إِلَى ثَلاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
Tidak dibolehkan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasulullah sallallahu’alaihi wa saal dan Masjidil Aqsha." (HR. Bukhari, no. 1132, Muslim, no. 1397)
Hadits ini menunjukkan akan haramnya  promosi wisata yang dinamakan Wisata Religi ke selain tiga masjid, seperti ajakan mengajak wisata ziarah kubur, menyaksikan tempat-tempat peninggalan kuno, terutama peninggalan yang diagungkan manusia, sehingga mereka terjerumus dalam  berbagai bentuk kesyirikan yang membinasakan. Dalam ajaran Islam tidak ada pengagungan pada tempat tertentu dengan menunaikan ibadah di dalamnya sehingga menjadi tempat yang  diagungkan selain tiga tempat tadi.
Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, "Aku pergi  Thur (gunung Tursina di Mesir), kemudian aku bertemu Ka’ab Al-Ahbar, lalu duduk bersamanya, lau beliau menyebutkan hadits yang panjang,  kemudian berkata, "Lalu aku bertemu Bashrah bin Abi Bashrah Al-Ghifary dan berkata, "Dari mana kamu datang?" Aku menjawab, "Dari (gunung) Thur. "Lalu beliau mengatakan, "Jika aku  menemuimu sebelum engkau keluar ke sana, maka (akan melarang) mu pergi, karena aku mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Jangan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, ke Masjidil Haram, Masjidku ini dan Masjid Iliyya atau Baitul Maqdis." (HR. Malik dalam Al-Muwatha, no. 108. Nasa’i, no. 1430, dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih An-Nasa’i)
Maka tidak dibolehkan memulai perjalanan menuju tempat suci selain tiga tempat ini. Hal  itu  bukan berarti dilarang mengunjungi masjid-masjid yang ada di negara muslim, karena kunjungan kesana dibolehkan, bahkan dianjurkan. Akan tetapi yang dilarang adalah melakukan safar dengan niat seperti itu.   Kalau ada tujuan lain dalam safar, lalu diikuti dengan berkunjung ke (masjid), maka hal itu tidak mengapa. Bahkan terkadang diharuskan untuk menunaikan jum’at dan shalat berjamaah. Yang keharamannya lebih berat adalah apabila kunjungannya ke tempat-tempat suci agama lain. Seperti pergi mengunjungi Vatikan atau patung Budha atau  lainnya yang serupa.
2. Ada juga dalil yang mengharamkan wisata seorang muslim ke negara kafir secara umum. Karena berdampak buruk terhadap agama dan akhlak seorang muslim, akibat bercampur dengan kaum yang tidak mengindahkan agama dan akhlak. Khususnya apabila tidak ada keperluan dalam safar tersebut seperti untuk berobat, berdagang atau semisalnya, kecuali cuma sekedar bersenang senang dan rekreasi. Sesungguhnya Allah telah menjadikan negara muslim memiliki keindahan penciptaan-Nya, sehingga tidak perlu pergi ke negara orang kafir.
Syekh Shaleh Al-Fauzan hafizahullah berkata: “Tidak boleh Safar ke negara kafir, karena ada kekhawatiran terhadap akidah, akhlak, akibat bercampur dan menetap di tengah  orang kafir  di antara mereka. Akan tetapi kalau ada keperluan mendesak dan tujuan yang benar untuk safar ke negara mereka seperti safar untuk berobat yang tidak ada di negaranya atau safar untuk belajar yang tidak didapatkan di negara muslim atau safar untuk berdagang, kesemuanya ini adalah tujuan yang benar, maka dibolehkan safar ke negara kafir dengan syarat menjaga syiar keislaman dan memungkinkan melaksanakan agamanya di negeri mereka. Hendaklah seperlunya, lalu kembali ke negeri Islam”. Adapun kalau safarnya hanya untuk wisata, maka tidak dibolehkan. Karena seorang muslim tidak membutuhkan hal itu serta tidak ada manfaat yang sama atau yang lebih kuat dibandingkan dengan bahaya dan kerusakan pada agama dan keyakinan. (Al-Muntaqa Min Fatawa Syekh Al-Fauzan, 2 soal no. 221)
Penegasan tentang masalah ini telah diuraikan dalam situs kami secara terperinci dan  panjang lebar. Silakan lihat soal no. 13342, 8919, 52845.
3. Tidak diragukan lagi bahwa ajaran Islam melarang wisata ke tempat-tempat rusak yang terdapat minuman keras, perzinaan, berbagai kemaksiatan seperti di pinggir pantai yang bebas dan acara-acara bebas dan tempat-tempat kemaksiatan. Atau juga diharamkan safar untuk mengadakan perayaan bid’ah. Karena seorang muslim diperintahkan untuk menjauhi kemaksiatan maka jangan terjerumus (kedalamnya) dan jangan duduk dengan orang yang melakukan itu.
Para ulama dalam Al-Lajnah dan Ad-Daimah mengatakan: “Tidak diperkenankan bepergian ke tempat-tempat kerusakan untuk berwisata. Karena hal itu mengundang bahaya terhadap agama dan akhlak. Karena ajaran Islam datang untuk menutup peluang yang menjerumuskan kepada keburukan." (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 26/332)
Bagaimana dengan wisata yang menganjurkan kemaksiatan dan prilaku tercela, lalu kita ikut  mengatur, mendukung dan menganjurkannya?
Para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah juga berkata: “Kalau wisata tersebut mengandung unsur memudahkan melakukan kemaksiatan dan kemunkaran serta mengajak kesana, maka tidak boleh bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari Akhir membantu untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah dan menyalahi perintahNya. Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan mengganti yang lebih baik dari itu. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 26/224)
4. Adapun berkunjung ke bekas peninggalan umat terdahulu dan situs-situs kuno , jika itu adalah  bekas tempat turunnya azab, atau tempat suatu kaum dibinasakan sebab kekufurannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak dibolehkan menjadikan tempat ini sebagai tempat wisata dan hiburan.
Para Ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya, ada di kota Al-Bada di  provinsi Tabuk terdapat peninggalan kuno dan rumah-rumah yang diukir di gunung. Sebagian orang mengatakan bahwa itu adalah tempat tinggal kaum Nabi Syu’aib alaihis salam. Pertanyaannya adalah, apakah ada dalil  bahwa ini adalah tempat tinggal kaum Syu’aib –alaihis salam- atau tidak ada dalil akan hal itu? dan apa hukum mengunjungi tempat purbakala itu bagi orang yang bermaksuk untuk sekedar melihat-lihat dan bagi yang bermaksud mengambil pelajaran dan nasehat?
Mereka menjawab: “Menurut ahli sejarah dikenal bahwa tempat tinggal bangsa Madyan yang  diutus kepada mereka Nabiyullah Syu’aib alaihis shalatu was salam berada di arah barat daya  Jazirah Arab yang sekarang dinamakan Al-Bada dan sekitarnya. Wallahu’alam akan kebenarannya. Jika itu benar, maka tidak diperkenankan berkunjung ke tempat ini dengan tujuan sekedar  melihat-lihat. Karena Nabi sallallahu’alaihi wa sallam ketika melewati Al-Hijr, yaitu tempat tinggal  bangsa Tsamud (yang dibinasakan) beliau bersabda:
“Janganlah  kalian memasuki tempat tinggal orang-orang yang telah menzalimi dirinya, khawatir kalian tertimpa seperti yang menimpa mereka, kecuali kalian dalam kondisi manangis. Lalu beliau menundukkan kepala dan berjalan cepat sampai melewati sungai." (HR. Bukhari, no. 3200 dan Muslim, no. 2980)
Ibnu Qayyim rahimahullah berkomentar ketika menjelaskan manfaat dan hukum yang diambil dari peristiwa perang Tabuk, di antaranya adalah barangsiapa yang melewati di tempat mereka yang Allah murkai dan turunkan azab, tidak sepatutnya dia memasukinya dan menetap di dalamnya, tetapi hendaknya dia mempercepat jalannya dan menutup wajahnya hingga lewat. Tidak boleh memasukinya kecuali dalam kondisi menangis dan mengambil pelajaran. Dengan landasan ini, Nabi sallallahu’alaihi wa sallam menyegerakan jalan di wadi (sungai) Muhassir antara Mina dan Muzdalifah, karena di tempat itu Allah membinasakan pasukan gajah dan orang-orangnya." (Zadul Ma’ad, 3/560)
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam menjelaskan hadits tadi, "Hal ini mencakup  negeri  Tsamud dan negeri lainnya yang sifatnya sama meskipun sebabnya terkait dengan mereka." (Fathul Bari, 6/380).
Silakan lihat kumpulan riset Majelis Ulama Saudi Arabia jilid ketiga, paper dengan judul Hukmu   Ihyai Diyar Tsamud (hukum menghidupkan perkampungan Tsamud). Juga silahkan lihat soal jawab no. 20894.
5.  Tidak dibolehkan juga wanita bepergian tanpa mahram. Para ulama telah memberikan fatwa haramnya wanita pergi haji atau umrah tanpa mahram. Bagaimana dengan safar untuk wisata yang di dalamnya banyak tasahul (mempermudah masalah) dan campur baur yang diharamkan? Silakan lihat soal jawab no. 4523, 45917, 69337 dan 3098.
6. Adapun mengatur wisata untuk orang kafir di negara Islam, asalnya dibolehkan. Wisatawan kafir kalau diizinkan oleh pemerintahan Islam untuk masuk maka diberi keamanan sampai keluar. Akan tetapi keberadaannya di negara Islam harus terikat dan menghormati agama Islam, akhlak umat Islam dan kebudayaannya. Dia pun di larang mendakwahkan agamanya dan tidak menuduh Islam dengan batil. Mereka juga tidak boleh keluar kecuali dengan penampilan sopan dan memakai pakaian yang sesuai untuk negara Islam, bukan dengan pakaian yang biasa dia pakai di negaranya dengan terbuka dan tanpa baju. Mereka juga bukan sebagai mata-mata atau spionase untuk negaranya. Yang terakhir tidak diperbolehkan berkunjung ke dua tempat suci; Mekkah dan Madinah.
Tidak tersembunyi bagi siapa pun bahwa dunia wisata sekarang lebih dominan dengan kemaksiatan, segala perbuatan buruk dan melanggar yang diharamkan, baik sengaja bersolek diri, telanjang di tempat-tempat umum, bercampur baur yang bebas, meminum khamar, memasarkan kebejatan, menyerupai orang kafir, mengambil kebiasaan dan akhlaknya bahkan sampai penyakit mereka  yang  berbahaya. Belum lagi, menghamburkan uang yang banyak dan waktu serta kesungguhan. Semua itu dibungkus dengan nama wisata. Maka ingatlah bagi yang mempunyai kecemburuan terhadap agama, akhlak dan umatnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, jangan sampai menjadi penolong untuk mempromosikan wisata fasik ini. Akan tetapi hendaknya memeranginya dan memerangi  ajakan mempromosikannya. Hendaknya bangga dengan agama, wawasan dan akhlaknya. Hal tersebut akan menjadikan negeri kita terpelihara dari segala keburukan dan mendapatkankan pengganti keindahan penciptaan Allah ta’ala di negara islam yang terjaga.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10. TAHUN 2009
TENTANG KEPARIWISATAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang    :  a.   bahwa  keadaan  alam,  flora,  dan  fauna,  sebagai  karunia  Tuhan  Yang Maha  Esa,  serta  peninggalan purbakala,  peninggalan  sejarah,  seni,  dan  budaya yang  dimiliki  bangsa  Indonesia  merupakan sumber daya dan modal pembangunan kepariwisataan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana   terkandung   dalam   Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. bahwa kebebasan melakukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata merupakan bagian dari hak asasi manusia
c. bahwa  kepariwisataan  merupakan  bagian  integral  dari  pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai  agama,  budaya  yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional
d. bahwa pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global
e. bahwa Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan kepariwisataan sehingga perlu  diganti
f.  bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam  huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Kepariwisataan
Mengingat  :   Pasal  20  dan  Pasal  21  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik Indonesia Tahun 1945
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
UNDANG-UNDANG TENTANG KEPARIWISATAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 
1.      Wisata  adalah  kegiatan  perjalanan  yang  dilakukan  oleh seseorang   atau   sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan  pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang  dikunjungi  dalam  jangka  waktu sementara. 
2. Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata.  
3. Pariwisata  adalah  berbagai macam  kegiatan  wisata  dan  didukung  berbagai  fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. 
4. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan  yang  terkait  dengan  pariwisata  dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan  setiap  orang  dan  negara  serta  interaksi  antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah,   dan pengusaha.   
5. Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa  keanekaragaman  kekayaan  alam,  budaya,  dan  hasil  buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan  kunjungan wisatawan.
6. Daerah  tujuan  pariwisata yang selanjutnya disebut  Destinasi  Pariwisata  adalah  kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah  administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan. 
7. Usaha  Pariwisata  adalah  usaha  yang  menyediakan  barang  dan/atau  jasa  bagi pemenuhan  kebutuhan  wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata.
8. Pengusaha Pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata.
9. Industri Pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.
10. Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama   pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang    mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti  pertumbuhan  ekonomi,  sosial  dan  budaya,  pemberdayaan sumber daya  alam,  daya  dukung  lingkungan  hidup,  serta  pertahanan  dan  keamanan.
11. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh pekerja pariwisata untuk mengembangkan profesionalitas kerja.    
12. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha  dan  pekerja  pariwisata untuk mendukung peningkatan mutu produk pariwisata, pelayanan, dan pengelolaan kepariwisataan.
13. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
14. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota,   dan   perangkat   daerah   sebagai   unsur   penyelenggara pemerintahan daerah.  
15. Menteri  adalah  menteri  yang  tugas  dan  tanggung  jawabnya di bidang kepariwisataan.
BAB II
ASAS, FUNGSI,  DAN TUJUAN
Pasal 2
Kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan asas:
a. manfaat
b. kekeluargaan
c. adil dan merata
d. keseimbangan
e. kemandirian
f. kelestarian
g. partisipatif
h. berkelanjutan
i. demokratis
j. kesetaraan dan 
k. kesatuan.  
Pasal 3
Kepariwisataan berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual  setiap wisatawan dengan rekreasi dan  perjalanan  serta  meningkatkan  pendapatan  negara  untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Pasal 4
Kepariwisataan bertujuan untuk:
a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi
b. meningkatkan kesejahteraan rakyat
c. menghapus
d. memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup 
e. memberdayakan masyarakat setempat
f. menjamin keterpaduan antarsektor, antardaerah, antara pusat   dan   daerah   yang   merupakan   satu kesatuan  sistemik  dalam  kerangka  otonomi  daerah,  serta keterpaduan antarpemangku kepentingan
g. mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan  internasional  dalam  bidang  pariwisata  dan 
h. memperkukuh  keutuhan  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia. 
BAB IV
PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN
Pasal 6
Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas  sebagaimana   dimaksud dalam Pasal 2 yang diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata.
Pasal 7
Pembangunan kepariwisataan meliputi: 
a. industri pariwisata
b. destinasi pariwisata
c. pemasaran dan
d. kelembagaan kepariwisataan. 
Pasal 8
(1)   Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarka rencana induk pembangunan kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, rencana induk pembangunan  kepariwisataan  provinsi, dan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota.
(2)   Pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan  bagian  integral  dari rencana pembangunan jangka panjang nasional. 

Pasal 9
(1)   Rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 
(2)   Rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah provinsi. 
(3)   Rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota.  
(4)   Penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat  (2),  dan  ayat  (3)  dilakukan  dengan  melibatkan  pemangku kepentingan.
(5)   Rencana induk pembangunan kepariwisataan sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (4)   meliputi perencanaan pembangunan industri pariwisata, destinasi pariwisata,  pemasaran,  dan  kelembagaan  kepariwisataan.
Pasal 10
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong penanaman modal dalam negeri  dan penanaman modal asing di bidang kepariwisataan sesuai dengan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional,  provinsi,  dan kabupaten/kota.
Pasal 11
Pemerintah bersama lembaga yang terkait dengan kepariwisataan menyelenggarakan penelitian dan pengembangan kepariwisataan untuk mendukung pembangunan kepariwisataan.
BAB V
KAWASAN STRATEGIS
Pasal 12
(1)     Penetapan kawasan strategis pariwisata dilakukan dengan memperhatikan aspek: 
a.    sumber  daya  pariwisata alam dan budaya yang potensial menjadi daya tarik pariwisata
b. potensi pasar
c. lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan bangsa dan keutuhan wilayah
d. perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup
e. lokasi  strategis  yang  mempunyai  peran  dalam  usaha pelestarian dan pemanfaatan aset budaya
f. kesiapan dan dukungan masyarakat dan 
g. kekhususan dari wilayah.
(2) Kawasan  strategis  pariwisata  dikembangkan  untuk  berpartisipasi   dalam   terciptanya   persatuan dan kesatuan bangsa, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. 
(3) Kawasan strategis pariwisata harus memperhatikan aspek budaya, sosial, dan agama   masyarakat setempat.
Pasal 13
(1)   Kawasan strategis pariwisata sebagaimana dimaksud dalam  Pasal  12  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  terdiri  atas  kawasan   strategis   pariwisata   nasional,   kawasan   strategis  pariwisata  provinsi,  dan  kawasan  strategis  pariwisata kabupaten/kota.
(2)   Kawasan strategis pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian integral dari rencana tata  ruang  wilayah  nasional,  rencana  tata  ruang  wilayah  provinsi,  dan    rencana  tata  ruang  wilayah  kabupaten/kota.
(3)   Kawasan strategis pariwisata nasional ditetapkan oleh Pemerintah, kawasan strategis pariwisata provinsi ditetapkan oleh Pemerintah Daerah provinsi, dan  kawasan  strategis pariwisata kabupaten/kota ditetapkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota. 
(4)   Kawasan pariwisata khusus ditetapkan dengan undang-undang.
BAB VI
USAHA PARIWISATA
Pasal 14
(1) Usaha pariwisata meliputi, antara lain: 
a. daya tarik wisata
b. kawasan pariwisata
c. jasa transportasi wisata
d. jasa perjalanan wisata
e. jasa makanan dan minuman
f. penyediaan akomodasi
g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi
h. penyelenggaraan  pertemuan,  perjalanan  insentif,  konferensi, dan pameran
3.6 Kesimpulan
Laporan PKL ini menggali informasi tentang Pengembangan Branding Wisata Bowele Sebagai Destinasi Ekowisata Kabupaten Malang. Kabupaten Malang yang terletak di provinsi Jawa Timur  memiliki  keindahan di sektor wisatanya,  baik dari  wisata  buatan  maupun  wisata  alamnya  sehingga Kabupaten Malang layak  menjadi  destinasi  favorit wisatawan yang datang ke kota Malang. Deretan pantai cantik banyak membuat decak kagum wisatawan.
Kabupaten Malang yang terletak di provinsi Jawa Timur memiliki  keindahan di sektor wisatanya, baik dari wisata buatan maupun wisata alamnya sehingga Kabupaten Malang layak  menjadi destinasi favorit wisatawan yang datang ke kota Malang. Deretan pantai cantik banyak membuat decak kagum wisatawan. Tanjung dan teluk yang ada merupakan tempat  yang  indah  dan  sangat  layak  untuk  menjadi destinasi pariwisata yang dapat dikunjungi, dari sekian banyak destinasi pariwisata yang ada, salah satunya merupakan Ekowisata Bowele.
Ekowisata Bowele berada tepatnya di Desa Purwodadi, Tirtoyudo, Kab. Malang, menurut hasil Wawancara dengan Bapak Muklis, Ekowisata Bowele memiliki branding ”The Real Adventure” (petualangan yang sesungguhnya).
Berdasarkan data yang didapatkan, Ekowisata Bowele ini memiliki keindahan wisata yang didukung dari berbagai kombinasi wisata alam di sekitarnya. Nama “Bowele” sendiri berasal dari singkatan beberapa nama pantai yang berada di sekitar desa Purwodadi yaitu pantai Bolu-Bolu, Wedi Awu, dan Lenggoksono.
Adapun permasalahan yang dihadapi oleh Ekowisata Bowele, masih banyak orang  yang  belum mengetahui  tentang adanya tempa wisata ini dan juga belum mengetahui apa branding dari ekowisata bowele ini.
Destination  Branding ini akan didukung dengan media-media  pendukung   komunikasi visual seperti iklan media cetak, website dan lain-lain yang sesuai dengan sasaran dari  perancangan ini. Maka penulis dengan ini juga berharap supaya destination branding ini dapat membantu tercapainya tujuan Dinas Pariwisataan dan Kebudayaan Kabupaten Malang untuk membangun citra dari Ekowisata Bowele.





















DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku
Azis,  M.,  Mintarti,  S.,  Nadir,  M.  (2015). Manajemen  Investasi  Fundamental, Teknikal, Perilaku Investor dan Return Saham. Yogyakarta: DEEPUBLISH (Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA).

Burkart and Medlik, 1974, ” Tourism Past, Present, and Future “,2nd edition, London, Heinemann

Cobbinah, Patrick Brandful. 2015. Contextualising the meaning of ecotourism. Tourism Management Perspectives 16, p. 179–189

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan WWF-Indonesia. 2009. Prinsip dan Kriteria Ekowisata Berbasis Masyarakat113  : Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang. 2014. Visit Kabupaten Malang, Malang : Disbudpar.

Foster,  Dennis  L. (2000). Travel  and  Tourism  Management. Jakarta: Rajawali Pers.

García JC, D Orellana and E Araujo. 2013. The new model of tourism: Definition and implementation of the principles of ecotourism in Galapagos. Pp. 95-99. In: Galapagos Report 2011-2012. GNPS, GCREG, CDF and GC. Puerto Ayora, Galapagos, Ecuador.

Gunn, Clare A.  1979. Tourism Planning. New York: Crane Russak & Company, Inc

Honey, Marta. 1999. Ecotourism and Sustanable Development : Who own paradise ?. Island Press : Washington DC.
Hakim, Lukman. 2004. Dasar-dasar Ekowisata. Malang : Bayu Media IES, 2002. Ecotourism Statistical Fact Sheet. The International Ecotourism Society. Canberra, Australia.
Inskeep Edward. (1991). Tourism Planning An Integrated and Sustainable Development Approach. New York: Van Nostrand Reinhold. 



Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan WWF-Indonesia. (2009). Prinsip dan Kriteria  Ekowisata  Berbasis Masyarakat. Jakarta: Direktorat Produk Wisata Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan WWF-Indonesia.

Kotler, Philip dan Keller, Kevin Lane. 2009. Manajemen Pemasaran. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Lawson,  F,  dan  Baud  Bovy,  M.  1998. Tourism and Recreation, Handbook of  Planning and Design. Oxford: Architectural Press. 
Landa, Robin. (2006). Designing Brand Experiences. Thomson Delmar Learning.
Marsongko, Paramita. (2000). Perencanaan Pariwisata III. Bandung: Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung
Neumeier, Marty. (2003). The Brand Gap. Edisi kedua. New Riders Publisher Randal, Schuller. (1987). Personal and Human Resources managrment. New York : West Publishing company

Nugroho, Iwan. 2015. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Subadra, I Nengah. 2008. Bali Tourism Watch: Ekowisata sebagai Wahana Pelestarian Alam.https://subadra.wordpress.com/2007/03/10/ekowisatawahana-pelestarian-alam. 29 Maret 2016.

Swarbrooke, John. 1996. Development and Management of Visitor Attractions. Oxford: Butterworth-Heinemann.

Al-Qur’an dan Hadist
Al-Qur’an, Surat Al-Ankabut ayat 20
Al-Qur’an, Surat Al-An’am ayat 11
Al-Qur’an, Surat An-Naml ayat 69
Al-Qur’an, Surat At-Taubah ayat 112
Anis, Ibrahim, et all. al-Mu’jam al-Wasit, Mesir : Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah, 1972
Abu Dawud, Sunan Abi Daud, Beirut: Dar al-Fikr, tt, Juz II.
Al-Ghazali,  Imam.(2005). Ihya ‘Ulumudin (terjemahan). Bandung : Pustaka
Ali, Muhammad asy-Syaukani Rahimahullah, 2007, Fathul Qadir, (Jakarta: Pustaka Azam).
Syaikh Sholeh bin Fauzan al-Faudzan, AlMuntaqa min Fatawa, alih bahasa: Adil bin Ali al-Furaidan,  Beirut: Dar al-Hijrah,tt

Undang-undang
Anonimous. 1997. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10.Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Undang-undang Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang, 2013, Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 10 tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar